• Lima

3.8K 307 18
                                    

=Galang=


Besok adalah hari terakhir Galang berada disini—rumah sakit. Setelah lima hari ia dirawat, akhirnya dokter memberikan ijin untuk pulang. Meskipun ia harus tetap tinggal di rumah dulu beberapa hari untuk memulihkan tubuhnya. Hm, tadinya sih Galang berniat akan sekolah. Ia sudah rindu dengan suasana sekolah, suasana kelas dan tentunya dengan Galis. Padahal baru kemarin Galis membesuknya, tapi Galang merasa masih merindukan cewek itu.

Kemarin. Saat Galis membesuknya, cewek itu menceritakan semua hal yang terjadi di sekolah, termasuk menceritakan tentang Alif—ketua murid—yang mencoba mendekati sahabatnya. Galis bilang bahwa si Alif mencoba mendekatinya dengan modus yang basi dengan menanyakan bagaimana kabarnya. Saat itu Galang hanya memperhatikan sahabatnya itu bercerita, sesekali tersenyum melihat wajah cemberut Galis.

Galis itu cantik, baik dan ramah. Pantas saja jika cowok-cowok di kelas mencoba mendekati sahabatnya termasuk Alif yang notabene-nya si Ketua Murid. Tapi yang membuat Galang heran itu, setiap cowok yang mendekati Galis, cewek itu malah menghindar. Sama sekali tidak mau didekati cowok. Galang merasa jadi cowok yang beruntung karena bisa dekat-dekat dengan Galis.

“Lang, tidur.”

Lamunannya tiba-tiba menghilang saat suara sang kakak mengintrupsi menyuruhnya untuk segera terlelap. Tak menanggapi perkataan Lulu, ia menarik selimutnya sampai menutupi dagu lalu matanya terpejam, mencoba untuk tidur.

“Kak.” masih dengan mata terpejam ia memanggil kakaknya, membuka kembali obrolan.

“Kenapa, Gak bisa tidur?” tanya Lulu yang kini sudah berjalan mendekati ranjang adiknya karena tadi ia berada di sofa dekat pintu.

Galang membuka matanya lebih dulu sebelum berbicara kembali, “Emh, Kak Juni kenapa nggak disini ... temenin Kak Lulu?”

“Niara lagi ada acara sama teman-temannya, jadi nggak bisa ikut kesini.” bohong. Jawaban yang dilontarkan Lulu itu bohong. Niara ada dirumah, lebih tepatnya di kamar sedang melakukan video call pada seseorang yang entah siapa Lulu tidak tahu. Lulu pun sudah mengajaknya, namun adiknya itu menolak dengan keras. Ah, entahlah. Lulu sudah pusing menghadapi adiknya yang satu itu.

“Jadi, kamu nggak bisa tidur karena ini?” lanjutnya lagi.

“Bukan cuma ini aja, Kak. Galang ngerasa kalau Kak Juni itu kayak nggak suka sama Galang, Kak Juni kayaknya benci sama Galang. Tapi, Galang salah ap—”

“Lang, udah. Itu cuma perasaan kamu aja, Niara sayang sama kamu. Niara nggak mungkin benci sama adiknya sendiri, kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Lebih baik kamu tidur, ngomongnya udah ngelantur gini.” untung saja ia segera menyela adiknya bicara, bukan apa-apa ia hanya tidak ingin adiknya jadi berpikiran yang aneh-aneh dan malah mempengaruhi kondisinya. Lulu tidak mau itu terjadi.

“Nggak, Kak. Dari tatapannya aja udah kelihatan kalau Kak Juni gak suka sama Galang,” ujarnya lagi.

“Sekarang kamu tidur. Jangan sampai kepulangannya diundur karena kondisi kamu drop lagi, nurut sama Kakak bisa 'kan?!”

Galang diam saja, tak menjawab. Bahkan tak bergerak saat Lulu—kakaknya—mengusap rambutnya dan tak lupa mencium keningnya. Galang terus memandang langit-langit ruang rawatnya, dan membiarkan sang kakak terus mengusap rambut yang dapat membuatnya kantuk. Tak lama, Galang sudah terlelap.

=Galang=

Sepasang pasutri itu baru saja menapakkan kakinya diteras rumah. Langit sudah gelap, dan mereka baru pulang. Bani dan Utami niatnya sepulang dari kantor ingin langsung saja ke rumah sakit dimana putra mereka dirawat, karena tubuh mereka pun perlu istirahat jadi mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Lulu tadi sempat mengabari Utami kalau Galang sudah bisa pulang besok pagi. Tentu saja itu adalah kabar yang baik, mereka senang tentunya.

“Capek banget ya, Mas.” katanya sembari melepas jas hitam yang dipakai sang suami—Bani.

“Iya, akhir-akhir ini perusahaan selalu ada masalah. Entah itu masalah yang kecil atau besar, tapi beruntungnya kita bisa menyelesaikannya,” ujarnya menimpali keluhan sang istri.

Bani akui, masalah satu persatu mulai muncul dalam kehidupannya dan juga keluarga kecilnya. Tak hanya perusahaan tapi juga dengan kesehatan putranya. Tapi ia sebagai kepala keluarga tidak ingin mengeluh dengan cobaan yang Allah Swt berikan, ia tahu jika Allah Swt tidak akan memberi cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya.

“Diminum, mas.” Utami berjalan menghampiri sang suami dengan secangkir teh manis hangat setelah tadi berkata akan kedapur untuk membuatkan minum.

Bani dengan senang hati menerimanya, lalu menyesap teh manisnya dengan nikmat. Lalu ia melirik kearah jam dinding yang berada di sebelah kiri atas. Pukul setengah satu dini hari, ternyata sudah cukup malam. Dan tentunya Asisten Rumah Tangga sudah terlelap diatas kasur.

“Papa, Mama.”

Bani dan Utami langsung menoleh ke arah sumber suara berasal. Rupanya itu Niara.

“Loh, kamu kok dirumah?” tanya Bani yang keheranan melihat Niara berada di rumah.

“Kenapa, Papa heran gitu Niara ada di rumah. Emangnya Niara nggak boleh ada di rumah ya?”

Mendengar perkataan Niara, Utami langsung bereaksi ia yang semula tenang duduk sambil menikmati teh manis hangat buatannya seketika langsung menghentikan kegiatannya dan menaruhnya di meja.

“Maksud Papamu bukan begitu, sayang. Kita kira kamu ikut nemenin Lulu di rumah sakit jagain Galang,”

“Hidup Niara bukan cuma buat ngurusin Galang aja ya, Ma. Niara juga capek pulang dari kampus, tugas numpuk. Niara kira Mama ngerti, dan Mama gak pernah mikir dua kali buat suruh Niara jagain anak kesayangan Mama itu!”

“Jaga bicara kamu, Niara! Yang sopan kalau bicara sama orang tua, rendahin nada bicaramu. Papa nggak pernah ajarin kamu bersikap seperti ini.” ujar Bani sedikit meninggikan nada bicaranya. Bahkan kini Bani yang semula duduk sudah berdiri dengan dada yang naik turun menahan amarah yang membuncah didada.

“Niara udah nggak heran lagi, setiap kali Nira bahas tentang Galang, Papa sama Mama selalu marah sama Niara.  Padahal yang Niara omongin tadi itu benar. Iya 'kan, Ma?” katanya dengan tenang.

Utami menggeleng, itu tidak benar. Ia rasa sudah membagi kasih sayang kepada anak-anaknya dengan adil, ia tak pernah membeda-bedakan putra-putrinya. Yang ia lakukan sudah benar sebagai seorang Ibu. Memang, akhir-akhir ini ia lebih memanjakan Galang, karena putranya sedang sakit. Dan ia pun akan melakukan hal yang sama bila Lulu ataupun Niara sakit, ia akan memberikan perhatian yang lebih.

“Itu nggak benar, Mama hanya bertanya dan Mama nggak akan pernah maksa kalau kamu nggak mau. Apa Mama pernah maksa kamu selama ini?”

“IYA! Kalian semua selalu maksa Niara, kalian nggak pernah mau tahu apa yang Niara inginkan. Kalian selalu menyudutkan Niara saat sedang menentukan pilihan. Niara nggak mau jadi dokter, tapi anak kesayangan Mama itu malah semakin memojokkan aku untuk menerima usulan dia. Dan kalian langsung setuju begitu saja, Niara benci semuanya!!” selama ini Niara tak berani menyerukan perihal keinginannya, ia selalu memendamnya seorang diri. Tapi kali ini sudah cukup, ia sudah muak dengan keluarganya yang selalu saja memihak Galang.

‘Plak!’

Niara memegang pipi kanannya, rasa perih dan ngilu mulai terasa bersamaan. Ia mendecih dengan air mata yang mulai menggenang dipelupuk matanya.

“Lihat, sekarang Papa sudah mulai berani main tangan sama Niara. Oh, Niara tahu kalian mau Niara pergi dari rumah 'kan? Atau bahkan kalian mau Niara pergi untuk selamanya, Oke Niara akan pergi!” setelah mengucapkan itu Niara langsung berlari ke luar rumah dengan tangan yang masih memegang pipi kanannya.

“Niara!”

=Galang=

Halo, semangat yaaa puasanya!Fighting:)

GalangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang