[15]-Minyak dan Air

Start from the beginning
                                    

"Jadi, bagaimana kabarnya Almayra Aqeela—" Fitrah kebingungan di ujung kalimatnya pasalnya ia tidak ingat betul nama belakang saudari Aqeel.

"Almayra Aqeela Dzakir." Aqeel melengkapi ucapan Fitrah.

"Itu maksudku."

***

14 hari sebelumnya~

Qeela bangun lebih pagi, dengan mata yang sembab dan menyipit karena ia menghabiskan malamnya dengan menangis di balik selimut. Bekas tangis itu masih membekas meski ia telah menggunakan make up untuk menutupinya. Ini akan menjadi hari terakhirnya untuk menginjakkan kaki di rumah.

Qeela tidak menemukan Aqeel saat ia terbangun. Tempat di sebelah Qeela kosong. Entah apa karena semalam Aqeel merasa terganggu dengan tangisnya jadi Aqeel pindah ke tempat lain? Qeela melihat ke arah jam dinding, pemberangkatannya sekitar dua jam lagi setelah mem-booking tiket dadakan dengan harga yang fantastis. Tentu saja bukan Qeela yang membayar. Melainkan, Ayahnya. Rasanya Qeela tidak sanggup menghadapi kedua orang tuanya saat keluar dari kamarnya sendiri. Qeela berjalan dengan gontai, membuka pintu kamarnya sedikit, lalu kepalanya ia longokkan ke luar. Dari sini Qeela tidak mendengar atau mendapati suara apa pun. Hanya keheningan. Ke mana suara cerewet Bundanya? Tidak ada suara penyiar berita yang biasanya Ayah tonton setiap pagi. Tidak juga suara perang asisten rumah tangga dengan peralatan dapur.

Qeela menarik napas dengan kencang lalu mengembuskannya dengan perlahan. "Apa perbuatan gue keterlaluan banget, ya? Semua orang udah anggap gue gak ada sebelum gue pergi." Bahu Qeela merosot. Ia menutup kembali pintu kamarnya. Qeela meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Yang mengecewakan kembali menghampirinya. Qeela tidak menemukan notifikasi apapun. ponselnya bersih. Padahal ada sekitar 1.247 pesan yang belum ia baca. Dan semua pesan itu hanya sampah—menurut Qeela—karena chat dari seseorang yang ia harapkan justru tidak muncul. "Dia nggak ada usaha untuk nahan gue di sini, gitu?" gumam Qeela. Qeela melempar ponselnya ke atas kasur. Ia menelungkupkan wajahnya di antara lipatan tangan. Berselang empat menit dari kegiatannya yang hanya berdiam diri, sebuah klakson mobil dari arah luar mengagetkannya.

Qeela terbangun. Mengangkat wajah berantakkannya karena ia menangis lagi. Dengan cepat Qeela menepis sisa air matanya. Qeela berjalan cepat untuk mencapai jendela kamar yang bisa melihat langsung keadaan di luar rumahnya.

"QEEL KELUAR!!!" seru Aqeel.

Qeela mengerutkan keningnya, Aqeel melambai-lambaikan tangannya dari bawah. Sebuah taksi berada di samping Aqeel.

Qeela mencoba baik-baik saja. Meski kini pikirannya mengawang. Itu taksi yang akan mengantarnya ke bandara? Bagus sekali. Sangat awal sebelum jadwal penerbangannya. Semua orang benar-benar ingin Qeela tidak di sini sepertinya. Qeela berbalik untuk mengambil sling bag-nya. Tidak lupa koper besarnya yang sudah ia tata semalaman.

Tidak perlu waktu yang banyak untuk ia sampai di bawah, Qeela disambut oleh senyum ramah Aqeel yang hanya dibalas dengan senyum paksaan dari Qeela. Di situasi seperti ini, Qeela tidak bisa tersenyum dengan tulus.

"Nggak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Aqeel saat berusaha membantu Qeela memasukkan koper besarnya ke dalam bagasi.

"Ini berat Kak. Biar gue aja," ujar Qeela. Aqeel sadar kalau Qeela mengabaikan pertanyaannya. "Pak supirnya mana, sih?" geram Qeela. Mulai emosi setelah sekuat tenaga menyimpan barang-barangnya.

"Cari angina," jawab Aqeel.

Qeela mengangkat kedua alisnya. "Ck ... masih sempet-sempetnya, ya?"

Aqeel menggeleng ragu. "Mungkin. Mm Qeel, kalau harus milih ... kamu mau pilih mana? Tetap tinggal di sini atau kuliah di luar negeri?" tanya Aqeel.

Twins (Who Are You?)✔Where stories live. Discover now