[13]-Undo or Redo?

Start from the beginning
                                    

"Kenal, ah—dia teman, tetangga apartemen saya," jawab Fitrah. Susunan kalimatnya tidak selaras. Fitrah sering mengerjapkan matanya saat salah bicara.

Gulam menepuk pundak Fitrah yang nampak melamun itu. "Terima kasih untuk hari ini, Pak. Saya sangat berhutang budi."

Fitrah terkekeh sambil menyangkal, "Tidak. Wah, saya yang sangat berhutang budi karena kamu sudah mau menemani saya makan siang."

"Saya sama sekali tidak keberatan. Tapi saya harus pergi sekarang." Gulam melihat jam di pergelangan tangannya.

Mengerti dengan keterdesakan waktu yang dimiliki partner makan siangnya. Fitrah pun tersenyum mempersilakan. "Baiklah. Kalau begitu, apa di lain waktu kita bisa berbincang lagi?"

Gulam mengacungkan jempolnya. "Sure!"

***

Fathan melambai tangan ketika Rico mengacungkan segelas alkohol kepadanya. Biar saja teman laki-lakinya itu mentertawainya. Menganggapnya bukan laki-laki karena menolak untuk bergabung bersama teman perempuan yang lain dan minum alkohol bersama.

"Ric, temen lo cemen banget," komentar seorang perempuan. Suaranya yang sengaja dikeraskan itu terdengar oleh Fathan.

Fathan berdecak. Ponselnya seolah menjadi objek paling menarik daripada lautan perempuan yang berpakaian minim di ruangan ini.

"Sebentar ya." Rico berdiri melewati beberapa kursi untuk menghampiri Fathan yang duduk sendirian di meja bartender. "Lo kenapa?"

Fathan menoleh ke arah Rico. "Gue gapapa."

Rico menggeleng. "Lo aneh tahu, nggak? Dikasih makan apa sih lo, sampai gak mau gabung sama yang lain?" Rico setengah heran.

Fathan menarik napas kecil. "Kata Kakek gue, makanan gue di pesantren lebih sehat daripada makanan di sini." Fathan terkekeh kecil di akhir kalimatnya.

"Jadi, ini juga gak sehat nih?" Rico mendekatkan bibir gelas wine-nya ke wajah Fathan.

Namun dengan sigap Fathan memutar kepalanya. Menghindar. "Gila lo!" teriak Fathan.

Bukannya tersudut, atau merasa bersalah Rico malah tertawa dengan kencang. "Lo nggak inget? Dulu lo kuat banget minum-minum sama gue."

"Jangan ungkit masa lalu!" tandas Fathan. Fathan menyurukkan ponselnya pada saku celana. "Mas! Satu gelas air putih." pesannya pada seorang bartender yang berjaga di depan meja memanjang.

Gelak tawa Rico semakin menggelegar. "Lo yang gila, Than! Datang ke tempat kayak gini, lo lebih milih air putih daripada wine?" Rico berdecih detik berikutnya berhenti mendumal karena tegukkan wine terakhirnya.

Fathan tidak tersulut emosi. Ia hanya diam dan tersenyum tipis. Ia juga heran dengan dirinya yang enggan mencoba minuman itu. Hanya dengan melihat gelas atau botol wine saja, Fathan teringat dengan wajah Ustad Fahrur. Mengingat bagaimana dengan tegasnya Ustad Fahrur melarang santriawan untuk mendekati khamr.

"Eh, lo liat cewek yang pakai baju hitam di sana?" Rico membuyarkan lamunan singkat Fathan dengan suara besar dan arah telunjuknya.

Fathan mengikuti ke mana telunjuk itu mengarah. Karena pencahayaan di sini kurang, Fathan harus menyipitkan matanya. "Yang ... mana?"

"Itu!" Rico menunjuk lagi. Namun Fathan tidak juga melihatnya. "Buset, itu lho!"

Fathan menjengjangkan lehernya. Ada banyak kerumunan laki-laki yang mengelilingi perempuan itu sehingga Fathan tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Punggungnya doang yang kelihatan," ujar Fathan.

Twins (Who Are You?)✔Where stories live. Discover now