iii. Peristirahatan // Hujan

119 11 0
                                    

Aku tidak suka hujan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku tidak suka hujan. Sangat tidak suka.

Bagiku, bunyi airnya yang jatuh menghantam atap sungguh mengganggu. Berisik. Belum lagi udara dingin menusuk kulit yang ikut menyertainya. Jangan lupakan juga tentang genangan air yang dihasilkan, yang sewaktu-waktu dapat terciprat dan membuat pakaianku basah.

Hujan—ah, menyebutnya saja membuatku muak.

Malangnya, malam ini harus kuhabiskan ditemani air yang jatuh dari langit itu. Untungnya segelas coklat hangat turut serta menemaniku—setidaknya ada yang membuatku merasa nyaman.

Jari-jariku bergerak cepat di atas keyboard laptop, sementara tatapanku tidak lepas dari layarnya yang menyala. Aku menghela napas lelah. Masih ada sekitar delapan berkas yang menunggu untuk diketik. Seharusnya aku tahu, ini resiko bekerja sebagai seorang pengajar di perguruan tinggi—dihadapkan dengan puluhan bahkan ratusan berkas setiap hari untuk menilai sudah sejauh mana anak didikku mengerti materi, tetapi, hujan? Hujan membuatku merasa pekerjaan ini menjadi sangat-sangat jauh lebih berat.

“Dee, masih kerja?” pertanyaan yang baru saja dilontarkan seseorang itu membuatku mendongak menatap sumber suara. Dera, masih dengan setelan jasnya tengah berdiri di ambang pintu. Dia selalu mengenakan kaos oblong berwarna pudar dan celana longgar ketika kami kuliah, jadi sampai sekarang aku masih tidak terbiasa melihatnya berpakaian formal. Rambutnya yang mulai panjang dan tidak pernah tertata rapi kini tampak lebih berantakan saat basah. “Dee?”

Aku mengulaskan senyum tipis. “Iya. Tapi tinggal beberapa lembar lagi. Kamu tidur saja dulu.”

Dera menggeleng kecil, lantas dengan bibir dikerucutkan, dia mendekat. Aku tertawa saat ekspresinya tak kunjung berubah bahkan ketika dia sudah berdiri tepat di belakangku, menempelkan kedua tangannya di kursi yang kududuki. “Heidi, ayo.”

“Ayo apa?” tanyaku sambil masih tertawa.

“Ayo berhenti. Aku lelah, ingin tidur.”

“Aku juga lelah, Dera.” aku bangkit dari dudukku, lalu berdiri di hadapannya. Tubuhnya yang jangkung mengharuskanku untuk mendongak ke atas. “Tapi rekap nilai mahasiswaku harus selesai besok pagi.”

Dera menggembungkan kedua pipinya. Astaga, dia menggemaskan. “Ya sudah,” sahutnya kemudian, “lanjutkan saja.”

“Kamu sudah makan?” tanyaku, mengabaikan nada kecewa yang terdengar dari ucapannya barusan.

Kali ini dia mengangguk. “Sudah.”

“Kamu istirahat saja dulu. Aku sebentar lagi menyusul.”

“Dee, aku akan menunggu kamu di sini sampai selesai, oke?”

“Tapi—” belum sempat aku mencegah, dia sudah beranjak ke satu-satunya sofa di ruangan kerja ini yang menempel dengan dinding di samping meja kerjaku. Lantas pria itu membuka jasnya, menjadikan benda itu selimut untuk dirinya sendiri.

[✔] StagnanWhere stories live. Discover now