i. Awal // Jejak

380 19 0
                                    

“Heidi, jangan pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Heidi, jangan pergi.”

Aku—yang baru saja menjejakkan kaki di teras rumah setelah dari bimbingan olimpiade Fisika di rumah guruku—langsung tertegun. Jovan, dengan mata memerah, tengah berdiri menghalangi pintu dalam jarak beberapa meter di hadapanku. “Apa maksudmu, Jo?” tanyaku tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut yang datang tiba-tiba. “Aku tidak kemana-mana.”

“Jangan pergi please.”

Aku yakin ada yang tidak beres dengan Jovan. Jovan tidak mungkin tiba-tiba datang begini jika sesuatu tidak terjadi. Jujur saja, sebenarnya aku terlalu lelah untuk mencari tahu setelah dijejali oleh puluhan soal rumit, namun sesuatu memaksaku. Alhasil, masih di posisi yang sama, aku akhirnya berkata, “Sebenarnya, kamu kenapa lagi, Jovan?”

“Tadi ...,” Jovan mengerjapkan matanya dua kali, “tadi aku bertemu Yara di jalan. Melirikku pun dia bahkan tidak mau, Dee. Dan untuk yang kesekian kalinya aku sadar, aku tidak ingin lagi melepaskan orang yang mencintaiku ataupun yang kucintai. Jadi, Heidi, jangan seperti Yara yang meninggalkanku. Jangan.”

Lagi, Jo? Aku kontan tersenyum kecut. Ya, lagi-lagi Jovan membicarakan Yara. Yara, Yara, dan Yara. Satu nama itu membuatku muak.

O ... kay?” adalah kata yang keluar dari bibirku. Aku tidak tahu lagi harus merespon bagaimana.

“Melihat Yara, jiwaku kembali merasa kosong,” lanjut Jovan lagi tanpa menyadari raut wajahku yang aku sendiri tidak ingin melihatnya.

Itu karena kamu nggak ingat Tuhanmu! Ingin rasanya aku meneriakkan satu kalimat itu tepat di depan wajah Jovan. Tapi alih-alih berteriak, aku malah berujar pelan, “Kamu melihat Yara setiap hari di sekolah.” ada jeda sejenak sebelum aku melanjutkan, “Jawab aku. Kamu masih menyayanginya, kan?”

Pemuda berlesung pipi di hadapanku hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Aku tersenyum, berharap agar itu terlihat tulus. Aku sudah tahu jawaban Jovan tanpa laki-laki itu membuka mulutnya. “Kamu masih menyayangi Yara. Dan aku—dengan sangat yakin—mengetahui bahwa kamu akan selalu menjadi bayangnya. Tetapi aku—dengan sangat bodohnya—telah dijadikan refleksi sosok Yara olehmu. Kamu tidak pernah melihat aku sebagai aku. Bagimu—“ aku tertawa sebentar, bahkan aku bisa merasakan kegetiran yang terselip di dalam suaraku, “bagimu aku hanyalah cadangan.”

Di bawah lampu teras yang cukup terang, aku lantas dapat melihat dahi Jovan berkerut, menyiratkan ketidaksukaan yang nyata. “Kamu tidak mengerti. Bukan begitu maksudku.”

“Aku mengerti. Sangat mengerti. Kamu hanya ingin orang yang kamu cintai tidak meinggalkan kamu, kan? Tapi, kamu tidak mencintai aku, Jovan, jadi bagaimana bisa kamu minta aku untuk tinggal? Yang kamu inginkan itu Yara, bukan aku. Jovanka, buka mata kamu. Aku ini bukan perempuan bodoh. Setiap kata-katamu sudah kucerna baik-baik.

“Sekarang aku tanya, apa kamu masih merasa sakit setiap kali mengingat dia yang meninggalkan kamu?”

“Iya.”

“Itu berarti kamu masih belum rela.”

“Iya.”

“Jujur, apa kamu merasa kamu sangat butuh Yara?’

Butuh waktu cukup lama sebelum Jovan menatap lurus ke dalam mataku, lantas mengatakan sebaris kalimat yang menusuk hatiku bak belati yang baru saja diasah. “Iya, aku butuh dia untuk bisa bernapas. Hari-hariku terasa sesak kala dia tidak ada.”

Lagi-lagi aku tertawa—kali ini terdengar sangat dipaksakan dan aku benci itu, seolah Jovan baru saja mengatakan sebuah lelucon yang sebenarnya tidak lucu, tetapi aku harus tertawa karena keadaan yang memaksa. “Apa kamu ingin kembali bersama Yara?” tanyaku lagi.

“Iya.”

“Jangan selalu bilang 'iya'. Say something what you really want to say.

I love her,” cetus Jovan singkat, tetapi sanggup membuatku menatapnya nyalang. Aku dapat merasakan rasa dingin yang menjalari tubuhku dalam sekejap mata. Aku tahu bahwa Jovan mencintai Yara, tapi saat mendengar langsung dari bibir laki-laki itu, rasanya aku ingin mengubur diriku dalam-dalam di bawah pijakan para manusia di bumi ini. “That means no one’s gonna be like her. She’s my world. My universe,” Jovan kembali meracau.

Aku sendiri bersumpah bahwa jantungku baru saja berhenti berdetak beberapa detik lamanya. Walaupun aku sudah memprediksi hal ini akan terjadi, tetapi tetap saja rasanya menyakitkan. Menusuk. Jovan benar-benar menghancurkan hatiku tanpa tedeng aling-aling.

“Kamu tahu,” Aku berdehem sekali, berusaha menahan diri sendiri agar tidak menangis, “selama ini kamulah yang berbohong pada diri sendiri. Bukan aku.”

Jovan mengangguk lemah. “Iya.”

“Kamu terus meyakinkan diri kalau kamu cinta sama aku, tapi nyatanya kamu bohong, Jo. Kamu masih belum menerima kenyataan bahwa masih ada dia di hati kamu. Dan sialnya lagi, kamu justru datang di kehidupanku.

“Untuk beberapa alasan aku marah kepada diriku sendiri. Kenapa harus aku? Kenapa kamu melihat dia di dalam aku? Apa kamu tau jawabannya, Jovan?”

“Iya.”

“Iya.” Aku bahkan bingung ingin berkata apa lagi. Keadaan ini memuakkan. Kini aku muak pada diriku sendiri karena terus berbicara hal yang pasti dianggap omong kosong oleh Jovan.

Jovan merapatkan jaket hitamnya. “Okay.”

Okay.”

Okay.”

Okay. Good luck, Jo. Jangan tidur terlalu malam. Besok kita ada ulangan Kimia.”

Okay. Thanks.”

Pada akhirnya aku mengangguk kecil, lalu melangkah menuju pintu di belakang Jovan sembari mengeluarkan kunci rumah dari dalam tas. Setelah pintu terbuka, aku memandang Jovan sebentar. “Selamat malam, Jovan. Jangan lupa salat Isya’.”

Jovan mengulaskan senyuman tipis. “Selamat malam, Heidi.”

Lalu pintu itu tertutup rapat tanpa meninggalkan celah sedikitpun. Dan Jovan, dia beranjak pergi—tanpa menyadari ada isakan tertahan yang lamat laun terdengar dari balik pintu seiring langkah kakinya yang menjauh.[]





Ditulis di Kota P,
24 Oktober 2016 - 21.34 WIB

[✔] StagnanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang