Sembilan Belas

Começar do início
                                    

"Memangnya ada yang salah dengan pekerjaanmu?"

Ucapan Haga malah membuatnya kesal. Ini semua salah lelaki itu, andai Haga memberi tahu pekerjaannya sejak awal, dia tidak perlu berbohong.  Andai saja Haga tadi tidak membuka mulut, dia bisa mengarang bebas tentang pekerjaannya. Mendesah, Gigi berkata, "Bukan itu maksudku-."

"Lalu?"

Gigi mencibir, dia sedang sedih, Haga malah seenak hati memotong ucapannya. "Seperti yang kamu katakan. Mereka mengira saya hamil. Hamil anak kamu," kata Gigi tertunduk lesu. Dia masih sangat malu jika harus diingatkan dengan gosip yang sialannya belum dia selesaikan itu.

"Bagus bukan? karena mereka tidak memiliki alasan lagi untuk menolak pernikahan kita."

Gigi melongok, lalu menjerit kesal. "Haga saya serius!" Menatap tajam sang bos, Gigi tidak bisa menahan rona di wajah.

Mengatakan hal ini sudah sangat berat, dan dia harus mendapat jawaban seperti itu dari Haga. Sangat memalukan juga mendebarkan.

Haga tergelak, dia menggeleng melihat aksi Gigi. "Kamu tenang saja, keluargaku tidak sepicik itu. Mereka akan tetap menyukaimu. Percayalah."

Gigi menggeleng. "Saya tidak yakin," katanya tanpa menatap Haga. Dia masih malu.

"Ayo aku buktikan." Gigi memekik saat Haga menariknya bangkit tanpa peringatan. Dia mendesah saat lelaki itu menyeretnya ke arah jendela.

"Mam!" teriak Haga setelah berhasil membuka jendela. Dia melambaikan tangan pada Ibunya di bawah. "Mam keberatan jika aku berhubungan dengan sekretarisku?"

Berseru, Gigi bersembunyi di balik tubuh Haga. Dia menggeleng dan memukuli tangan sang bos saat lelaki itu menariknya mendekat. "Gak mau."

"Bagaimana Mam?"

Suara Kekehan kaku di bawah masih dapat didengar meski tak terlalu jelas.

"Tentu saja tidak, Sayang, memangnya kenapa?"

"Tidak ada apa-apa, Mam. Maaf mengganggu." Haga kembali menutup jendela. "Lihat kan, mereka tidak mempermasalahkannya."

Gigi menggeleng, meski mendengar secara langsung tanggapan Ibu Haga, tapi dia tetap tidak percaya. Gigi yakin, Ibu bosnya ini menjawab seperti itu karena ada Haga dan keluarganya besarnya.

Mendesah, Haga menggenggam tangan Gigi. "Aku harus melakukan apa lagi supaya kamu percaya?"

Gigi tidak menjawab apa pun, dia menunduk dan membiarkan Haga menariknya dalam pelukan. "Percayalah keluargaku akan selalu menyukaimu."

Tidak ingin membuat Haga merasa bersalah, Gigi mengangguk. Biarlah dia yang menanggung semua ini, lagi pula dia juga salah karena tidak berkata jujur saat ada kesempatan. Memejamkan mata, Gigi menikmati saat Haga menepuk-nepuk kepalanya.

"Sekarang, kamu bersiap ya. Tidak perlu membawa banyak pakaian, cukup dua atau tiga pasang saja."

"Memangnya kita mau ke mana?"

"Kejutan."

Gigi mencibir dalam hati, dia menarik diri dan tersenyum malu. Mundur tiga langkah, Gigi bergerak gelisah. "Baik, aku akan bersiap," kata Gigi langsung kabur dari hadapan Haga yang masih memberinya senyum meneduhkan.

Sampai di luar kamar, Gigi menyentuh dada yang berdebar. Dia menggigit bibir dan memukul kepala. Tidak ingin di sangka gila, Gigi bergegas ingin kembali ke kamarnya.

"Gi." Panggilan Haga membuatnya menoleh. "Kamu melupakan ini," kata Haga menyerahkan ransel pada Gigi.

"Terima kasih." Memutar kaki, Gigi langsung kabur dari hadapan Haga.

                   ====

Setelah menempuh perjalanan lebih dari lima jam akhirnya mereka tiba di tempat tujuan. Gigi keluar dari mobil, dia langsung berlari ke sisi tebing. Melihat ke bawah, Gigi terpesona melihat birunya air laut.

"Indah sekali," katanya tersenyum senang. Dia kembali menatap pemandangan sekitar, matahari sebentar lagi akan tenggelam.

"Aku menemukan tempat ini sepuluh tahun lalu," kata Haga merangkul bahu Gigi. "Saat itu juga tempat ini langsung menjadi tempat favoritku."

Gigi mengangguk setuju, dia juga akan menjadikan tempat ini sebagai tempat favorit untuk menenangkan diri. Selain jauh dari pusat kota, pemandangan yang disuguhkan juga luar biasa.

"Aku juga suka tempat ini," kata Gigi.

"Kalau kamu mau, lain waktu kita datang lagi ke sini."

Gigi mengangguk semangat, dia sangat menyukai usulan itu. Merentangkan tangan, Gigi memejamkan mata dan menghirup udara segar yang tersedia.

Waktu sebentar lagi malam, Haga memutuskan meninggalkan Gigi tetap di sana. Dia kembali ke mobil, mengeluarkan berbagai barang untuk membuat tenda dan api unggun.

Sepanjang mengerjakan pekerjaannya, Haga berkali-kali menatap ke arah Gigi yang masih asyik berdiri di sana. Dia senang membuat gadis itu bahagia.

Selesai masalah tenda dan api unggun, dia mengelar matras di dekat Gigi. Haga kembali sibuk di mobil, sebelum kembali dan menawari Gigi minuman.

"Terima kasih. Maaf aku tidak membantumu."

Haga terdiam, lalu mengangguk. Sembari mengajak Gigi duduk, bersama-sama mereka melihat matahari tenggelam.

"Indah sekali." Gigi menangkup kedua tangan di dada, matanya berbinar bahagia.

Haga yang melihat itu tersenyum, dia begitu terpesona melihat binar bahagia dari mata Gigi. Setelah matahari berhasil tenggelam, Haga menyentuh wajah Gigi, dia mengelus selama beberapa detik sebelum memberi kecupan di bibir kesukaannya.

Kecupan yang langsung berubah saat tidak mendapat penolakan dari Gigi.

Merasa perlu bernapas, Haga melepas pungutannya, dia menatap Gigi lembut sembari mengusap pipi gadis itu. Dia tersenyum melihat wajah Gigi yang merona.

"Kenapa?"

Haga mengerutkan kening, dia tidak mengerti apa yang dimaksud Gigi. "Kenapa apa?"

Menelan ludah gugup, Gigi membalas tatapan Haga. "Kenapa kamu menciumku? Apa ini juga termaksud dalam sandiwara?"

Haga tersentak, dia menatap Gigi tajam. "Apa maksudmu?"

"Kedekatan ini, semua perlakuan manis yang kamu lakukan dan ciuman ini, apa juga termaksud sandiwara?"

Haga menggeleng. "Tidak," katanya dengan tegas.

"Lalu?" Ucapan Gigi sungguh membuat Haga jengkel.

"Kamu tahu jawabannya," kata Haga. Karena dia yakin Gigi sebenarnya tahu alasan di balik semua sikapnya beberapa hari ini.

"Aku tidak tahu." Gigi menggeleng, dia menatap ke lautan di bawahnya.

"Ya, kamu tahu." Menangkup pipi Gigi, Haga menatapnya dalam. Dia mengelus pipi gadis itu. "Kita sama-sama tahu."

"Aku tidak tahu." Gigi menyentuh tangan Haga, dia berusaha menyingkirkan tangan itu dari wajahnya tapi tak berhasil. Tidak kehabisan akal, Gigi memundurkan wajah menjauh. Namun, Haga menahan, dan menariknya dalam pelukan.

"Aku tertarik padamu, dan tidak perlu berbohong, karena aku tahu kamu juga tertarik padaku." Sambil berkata Haga tersenyum, dia menyentuh dagu Gigi dan mendongakkannya. "Benar bukan?"

Tidak ada jawaban dari Gigi, tapi Haga tahu apa yang dia katakan benar. "Wajahmu seperti tomat matang," kata Haga terkekeh, dia berhasil membuat Gigi cemberut. "Jadi," kata Haga setelah beberapa menit saling pandang. "Kamu mau benar-benar mencoba berhubungan denganku? Kali ini tidak untuk sandiwara."







Setelah baca ini bagaimana penilaian terhadap Haga?







Haga & Gigi Onde as histórias ganham vida. Descobre agora