TUMBAL PERAWAN Part 10

11.6K 270 55
                                    

"Kemarin ada yang nyariin kamu, Mas," ucap Yeni dengan nada kesal.

"Siapa?"

"Lastri," jawab gadis itu singkat.

Glek! Lastri?

"Lastri siapa?" tanya Retno.

"Tanya aja sama Mas Bagas." Ucapan Yeni terdengar mengandung kecemburuan yang bertumpuk. Cemburu pada Retno, juga pada Lastri. Aku malah merasa khawatir, mungkinkah Yeni tahu tentang ritual pesugihan kemarin dari mulut Lastri? Semoga saja tidak.

"Mas?" Retno menepuk pundak, membuyarkan lamunanku. "Kok malah bengong. Siapa Lastri itu, Mas?"

"Ng ... nganu ... aku ndak tahu. Lastri siapa, ta, Yen? Bukannya kamu yang punya temen namanya Lastri?"

"Lastri temenku bukan yang kemarin datang ke rumah nyariin kamu, Mas. Beda orang," terang wanita ber-body aduhai itu.

Jadi, ternyata beda orang. Lastri mantan pacarku dan Lastri temannya Yeni adalah orang yang berbeda. Itu artinya, kecil kemungkinan adik iparku itu tahu masalah pesugihan tumbal perawan yang kulakukan. Huft ... sudah deg-degan saja.

"Memangnya orangnya ngomong apa, Yen?" selidik Retno.

"Ndak ngomong apa-apa. Cuma, dia kok, kayak orang yang gelisah gitu, ya? Ada apa, ya?"

"Lah, kok, malah balik nanya. Harusnya kamu tanya dia kenapa gelisah," gerutu istriku sambil mengupas sebuah apel.

"Mbok, ya, sudah. Jangan pada ribut. Kasihan Bagas mau istirahat. Ndak usah mikirin Lastri itu yang kita ndak kenal," lagi-lagi Bapak menyelamatkanku dari serangan pertanyaan Retno.

"Iya. Kalian, tuh, malah bicarain orang yang ndak penting," timpal Mamak.

Aku menghela napas panjang. Senang rasanya banyak yang perhatian padaku. Retno menyuapkan sepotong apel yang telah dikupasnya. Senangnya. Enak dan krenyes-krenyes, seperti ... Yeni. Teringat ketika pagi itu aku merasakan nikmatnya meneguk madu perawan dari adik iparku sendiri. Hampir mirip makan apel ini. Segar. Manis.

Deg!

Tiba-tiba terbersit pertanyaan di benak, kenapa saat menyetubuhi Yeni, aku merasakan nikmatnya. Sedang saat menyerahkan tumbal perawan Lastri dan dua makhluk ajaib itu aku sama sekali tak merasakan. Bahkan tak ingat sama sekali. Padahal kedua kejadian itu sama-sama bagian dari prosesi penyerahan tumbal untuk pesugihan. Jadi, apa maksud dari semua ini? Kenapa ini seperti teka-teki yang sulit untuk ditebak?

"Dik, sepertinya kamu kecapekan," ucapku pada Retno yang terlihat pucat.

"Iya, Gas. Retno memang kecapekan. Sejak kamu masuk rumah sakit, Retno ndak pulang. Terus jagain kamu di sini," terang Mamak.

"Hah?" Terharu rasanya punya istri yang sayang dan perhatian sekali seperti Retno. Aku jadi tambah cinta sama dia.

"Iya, bener itu!" timpal Bapak.

Yeni yang sedari tadi terlihat kesal, tiba-tiba berubah semringah. "Gini aja, Bapak, Mamak, sama Mbak Retno pulang aja. Malam ini biar aku yang jagain Mas Bagas. Kasihan Mbak Retno sudah pucet gitu. Bapak sama Mamak juga istirahat. Besok pagi baru kalian ke sini."

Ehm. Boleh juga idenya Yeni. Dasar bocah licik ... tapi aku suka!

"Kamu berani tidur di rumah sakit, Yen?" tanya kakak satu-satunya itu.

"Berani," jawab Yeni cepat dan yakin.

"Gimana, Pak?" Mamak menanyai suaminya.

"Ya, sudah, ndak apa-apa kalau Yeni berani. Kamu beneran berani, Yen?" tanya Bapak memastikan.

"Berani, Pak, Mak. Berani banget! Sudah, pokoknya kalian ndak usah khawatir. Aman!" jawab Yeni sambil cengengesan.

"Ya, sudah kalau begitu. Mas, aku pulang dulu, ya? Ndak apa-apa, ta, kalau tak tinggal?" tanya Retno padaku tanpa ada rasa curiga suaminya akan disikat kucing garong bahenol.

Sebenarnya ada rasa berat menggelayut di hati akan ditinggal istri pulang. Namun, melihat Yeni yang tampak berharap sekali bisa berduaan denganku, aku jadi membiarkannya pergi. Apalagi ia terlihat sangat lelah.

"Ya, sudah. Pulanglah, Dik. Aku ndak apa-apa. Kamu kelihatan capek banget. Sampai rumah, langsung makan terus istirahat, ya, Dik," ucapku sok perhatian.

"Iya."

Usai mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang, akhirnya Mamak,Bapak, dan Retno pulang juga. Setelah memastikan orang tua dan kakaknya benar-benar pergi, Yeni bergegas mendekat dengan senyam-senyum. 'Duh, Yen, senyummu manis sekali.'

Entah apa yang ia sukai dari orang sepertiku, tapi yang jelas, Yeni tampak tergila-gila padaku. Satu hal yang tak bisa dibantah, wajahku memang tampan. Hampir mirip dengan Kris Hatta. Wajah oval, mata bulat, hidung mancung, alis tebal, dan kulit putih bersih. Selain ketampanan, tak ada yang bisa dibanggakan.

Sampai di samping tempat tidur, Yeni duduk di kursi. Kedua tangan menggenggam tangan kananku yang berada di depannya. Aku tak bisa membalas genggamannya karena tangan kiri dipasang selang infus.

"Mas ...." Yeni memanggilku genit. Ah, sayang lagi sakit, kalau tidak, sudah kusosor bibir seksinya.

"Iya, Yeni Cantik." Pipi gadis itu langsung memerah.

"Aku seneng, deh, Mas. Bisa berduaan sama kamu."

"Sama, aku juga. Seneng bisa berduaan sama bidadari cantik dan seksi kayak kamu." Serangan rayuan mulai kutembakkan. Tepat sasaran. Korban rayuan mulai belingsatan, kepedean. Malu-malu kambing. Malu tapi mau banget!

"Ah, kamu bisa aja, Mas." Yeni mencubit lenganku.

"Aw!" Aku pura-pura kesakitan.

Gadis yang mengenakan celana jeans panjang dan kaos ketat hingga memperlihatkan dadanya yang besar itu mengelus bekas cubitannya.

"Atit?"

"Ho'oh."

Kami cekikikan berdua. Sayang suasana manis itu tak berlangsung lama. Pikiranku buyar ketika tiba-tiba Yeni menanyakan tentang Lastri dan kenapa aku bisa berada di jalan dekat pantai. Sial! Mengganggu suasana saja! Aku jadi bingung, haruskah jujur atau berbohong saja.

Namun, yang namanya Bagas, tak mungkin tak punya akal untuk mengalihkan pembicaraan. Segera kuangkat tangan kanan, lalu mengelus pipi putihnya. Gadis bermata bulat itu seketika lupa pertanyaan-pertanyaannya tadi.

Aku dirawat di Rumah Sakit kecil dekat lokasi kecelakaan. Di sini, meski kelas tiga, satu ruangan hanya terdiri dari dua ranjang yang dipisahkan dengan tirai besar. Dilengkapi dengan dua buah kursi plastik dan sebuah televisi. RS ini tergolong sepi, di kamar berukuran empat kali enam meter ini pasien hanya aku sendiri. Sementara ranjang sebelah kosong.

Aku dan Yeni saling bercengkerama, saling memandang dan bercanda. Beruntung beberapa waktu yang lalu infus di tangan kiri sudah dilepas. Perawat bilang, aku sudah tak memerlukannya. Dan kurasa memang benar. Aku merasa sudah pulih. Entah apa penyebabnya hingga meski mengalami kecelakaan parah, tapi aku tak mengalami luka serius.

Setan mulai bersorak, menyuruhku untuk mengambil kesempatan yang ada di depan mata. Suasana sepi, hanya ada kami berdua, sungguh kesempatan emas untuk bisa meneguk madu adik ipar. Yeni sepertinya juga menginginkannya. Terlihat jelas dari sorot matanya yang haus belaian.

"Yen ....," kuusap lembut pipinya sekali lagi. Menatap bibir indahnya. Lalu, tanpa aba-aba, kami sudah saling menempelkan bibir.

Tak lama, Yeni melepas tautan lalu segera bangkit dan berjalan ke arah pintu. Usai memastikan keadaan benar-benar sepi, ia kembali ke ranjang lalu menutup tirai rapat-rapat. Kami pun melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.
_______
Pagi-pagi sekali, Retno sudah datang membawa pakaian ganti untukku. Untung saja, aku dan Yeni sudah selesai bergulat sejak beberapa jam yang lalu.

"Mas, sudah bangun?" sapa Retno mesra. Belum sempat menjawab, tiba-tiba saja Retno mencium pipiku.

Dada berdesir. Bahagia rasanya dicium istri. Aku jadi ingin melakukan sesuatu yang lebih. Namun sayang, tiba-tiba sebuah bayangan hitam sekelebat masuk melalui jendela yang menghadap keluar. Lalu ....
_______
Tbc.

TUMBAL PERAWAN (END)Where stories live. Discover now