TUMBAL PERAWAN Part 3

18.8K 279 2
                                    

Kedua kakiku benar-benar tak bisa digerakkan. Kucoba berteriak. Namun, lagi-lagi suaraku tak keluar. Sekuat apapun berteriak, tetap saja tak terdengar.

Peluh bercucuran. Seluruh tubuh gemetar tak keruan. Bayi melayang itu semakin dekat, lebih dekat, sangat dekat. Dan ... hap! Tubuh kecil itu menubruk wajahku dengan keras! Kedua tangannya mencengkeram kuat bagian belakang kepalaku. Aku tak bisa bernapas. Dengan sekuat tenaga mencoba melepasnya, tapi tetap tak bisa. Bayi itu seperti melekat, dan kuku-kukunya seolah tertancap di kepala ini. Nyeri dan perih luar biasa.

Meski badan menggeliat dan tangan mencoba melepas, tapi bayi itu benar-benar tak bisa lepas. Kepalaku mulai berdenyut hebat. Lalu detik kemudian semuanya gelap.

Aku tersentak ketika tiba-tiba terasa ada yang menepuk-nepuk bahuku.

"Mas! Bangun, Mas!"

Seketika aku terbangun. Saat mata terbuka, terlihat Retno berdiri di samping ranjang tempatku berbaring.

Aku langsung duduk dengan napas masih tersengal. Jantung masih berdenyut tak beraturan.

Menatap ke sekeliling, ternyata aku berada di ranjang. Tak sedang berdiri di depan lemari. Ada apa ini? Apa aku bermimpi tadi? Tapi kenapa rasanya seperti sangat nyata?

"Kenapa, Mas?" tanya Retno.

"Ng ... nganu, Dik. Ng ... aku mimpi buruk." Ya, mungkin tadi hanya mimpi.

"Makanya jangan tidur siang bolong begini!" omel Retno sembari menyalakan kipas angin stand fan di sudut kamar. Rasanya segar saat angin dari kipas menerpa tubuh yang kepanasan. Hah? Kenapa aku kepanasan sekarang sedang tadi begitu kedinginan sampai menggigil? Apakah aku benar-benar hanya bermimpi?

Teringat tentang bayi melayang, pandanganku lalu tertuju pada lemari tua di samping jendela. Terbersit di kepala untuk meminta Retno membukanya, memastikan apa yang ada di dalam.

"Dik, tolong ambilkan kaus di lemari. Bajuku basah kena keringat," pintaku dusta.

Tanpa menjawab, wanita berdaster panjang itu langsung melaksakan keinginanku.

Kreek!

Deg! Tak ada apapun keluar dari lemari. Isinya masih sama seperti biasanya, hanya tumpukan pakaian. Tak ada bayi atau apapun yang aneh lainnya.

Usai mengambil sepotong kaus, Retno kembali menutup lemari itu. Menyerahkan kaus lalu keluar kamar tanpa mengucap sepatah kata pun.

Ternyata memang hanya mimpi. Siang bolong begini, kenapa aku bisa bermimpi buruk seperti itu? Semoga ini tak ada hubungannya dengan bayi Mak Minah yang kucuri lalu menyerahkannya kepada Mbah Somo sebagai tumbal pesugihan.

Tak ingin terus teringat kejadian tadi, aku bangkit lalu keluar menuju kamar mandi.

Usai membersihkan diri, makan siang, dan ngopi sebentar, aku pamit pada Retno untuk keluar.

"Jangan malam-malam pulangnya, Mas," pesan wanitaku.

"Iya, Dik. Nanti malam kita main, ya, Dik. Buat ganti yang semalam belum terlaksana."

Perempuan berusia dua puluh empat tahun itu mencebik, membuatku tertawa kecil. Tingkahnya selalu saja membuatku gemas.
_______
Motor bebek keluaran tahun 2003 ini membawaku ke rumah Mbah Somo yang berada di kaki bukit. Letaknya terasing dari pemukiman warga lainnya. Untuk menjangkau tempat itu, harus melewati jalan setapak yang tak bisa dilalui menggunakan kendaraan bermotor.

Sesampainya di sana, aroma wangi dupa menyambut kedatanganku. Seperti biasa, aku langsung masuk ke rumah kayu yang berukuran cukup besar itu. Mbah Wiji, istri Mbah Somo, keluar menemuiku.

TUMBAL PERAWAN (END)Where stories live. Discover now