Berlian Tersesat

64 1 0
                                    

Ini emang kepanjangan buat oneshot. 33 halaman Ms. Word. Tapi karena diri ini pemalas, jadi nggak mau pusing milih bagian mana yang mau dipotong. Toh alurnya juga cepet banget sih.

Sekali lagi diingatkan: Ini karya 10 tahun lalu, pas saya masih SMA dan sekarang udah S2. Jadi, mohon maaf kalau jelek dan nggak seru.

***

Angin benar-benar membuaiku. Jemari tangan Lucas yang mengusap-ngusap rambutku semakin membuatku nyaman. Sore hari itu, pukul tiga sore, dan cuaca sangat cerah. Cahaya matahari sedang asyik-asyiknya mewarnai guratan awan yang memantulkan refleksinya. Pada jam-jam seperti ini, matahari memang tidak begitu terik dan juga tidak begitu panas. Suhunya pas. Mungkin lain cerita jika kami berada di Seattle atau Washington D.C. mengingat dua tempat itu seringnya gelap dan basah.

Lucas meraih kepalaku yang sudah lemas karena mengantuk untuk ia sandarkan di pundaknya, sambil memandangi orang-orang yang sedang menikmati suasana sore yang cerah ini seperti kami berdua di Central Park New York. Kami duduk di atas rumput yang sudah dibalut tikar di depan sebuah danau yang memantulkan daun-daun hijau dari pohon yang tumbuh di area taman ini.

"I love you." Lucas membisikkan kata-kata itu ditelingaku. Aku tersenyum sambil menatap wajahnya.

"I love you too," jawabku malu-malu. Lucas semakin tajam mengarahkan matanya yang menjorok dalam dibalik tulang alisnya itu, menatap manik mataku. Wajahnya semakin mendekat, aku sudah bisa menebak apa yang akan dia lakukan. Aku hanya pasrah sambil menutup mataku. Wajahnya semakin mendekat dan...

Kriiingg!!!

"Lucas..." aku mengigau ketika diriku mulai terjaga dan sadar dari tidur yang berbuah mimpi ketika jam weker di samping tempat tidurku berdering hebat.

"Ber!!" seseorang yang tidur di seberangku berteriak. "Cepet matiin ato aku lempar kaya kemaren!!" Logat jawanya medok sekali meskipun masih tidur. Eh, memang tidur ikut mempengaruhi cara bicara juga ya? Ya, setidaknya dalam pikiranku sih seperti itu.

Sambil setengah melek, aku meraba-raba nakas kecil yang terletak disamping tempat tidurku. Ah! Ini dia. Sebuah jam weker butut dengan tambalan solatip disana-sini sudah kupegang dan kumatikan agar tidak terus berdering. Takut-takut tambalan solatip itu akan bertambah banyak jika Hera—orang yang tidur di seberangku tadi sampai membanting jam ini seperti biasanya.

Hera adalah teman satu kamarku. Aku indekos di rumah besar tante Mirna bersama dengan enam orang lainnya sudah sejak satu tahun lalu, setelah aku duduk di kelas satu SMA di daerah Jakarta Pusat. Rumah asliku berada di Depok. Orang tuaku pindah ke Depok beberapa bulan setelah aku masuk SMA, dan mengingat bagaimana perjuanganku untuk bisa masuk ke SMAku sekarang yang bisa dibilang salah satu SMA favorit, aku lebih memilih untuk tetap tinggal di Jakarta, sekalipun itu artinya aku harus rela menjadi anak kosan dan meninggalkan orang tuaku.

Tiba-tiba, sesuatu muncul dalam ingatanku. Lewat begitu saja. Bukankah tadi aku bersama dengan Lucass? Lucass Till? Artis Hollywood yang berperan jadi Alex. Pria muda paling cool di film Hollywood X-Men itu. Aku terdiam, merenung mencoba mengumpulkan kesadaran.

Ah, sial!! Ternyata cuma mimpi!! Dasar weker sialan. Mungkin akan lebih baik jika aku tidak membenarkannya tempo hari lalu ketika weker itu hancur dibanting oleh Hera yang kebluk dan suka marah-marah. Ingin sekali aku banting lagi weker itu. Eh, tapi engga jadi deh! Sekarang bulan tua. Papa belum sempat kirim uang bulanan, jangankan buat beli weker baru, buat jajan di kantin sekolah aja udah seret. Lagipula, mungkin aku bakal disuruh lari sepuluh putaran dilapangan sekolah yang luas itu oleh Pak Ari, wakasek kesiswaan yang kerajinan menunggu siswa telat di gerbang sekolah tiap hari. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya nasibku kalau weker butut tersayangku itu tidak susah payah mengeluarkan suaranya untuk membangunkanku. Meskipun suaranya sudah serak. Salahku juga sih, karena sudah lama tidak beli batere baru.

Berlian TersesatWo Geschichten leben. Entdecke jetzt