3 | Korban Futsal

71 10 22
                                    

Raina melipat selimut putih bermotif garis dengan tekun. Entah apa yang membuat fokusnya tersita pada kain lembut itu. Namun, nyatanya Raina memang tipe orang yang akan fokus pada satu hal dan melupakan hal lainnya. Dengan kata lain, non-multitasking person.

Di ruang UKS cukup lengang. Hanya ada Mbak Yuyun—sang penjaga UKS—yang tengah menyusun obat-obatan dibantu oleh Liam—anggota ekskul UKS yang juga bertugas hari ini.

"IPA dua lagi nggak ada guru kah?" tanya Mbak Yuyun dengan nada suaranya yang keibuan.

Dari balik tirai Raina dapat melihat siluet tubuh Liam yang tengah duduk di lantai tepat di samping kursi Mbak Yuyun. Pemuda bergaya rambut cepak itu terkekeh kemudian menceritakan tentang guru Biologi yang tengah mengisi jam pelajaran di kelasnya.

Sementara Raina beralih merapikan sprei di brangkar sebelahnya. UKS di GIS memiliki enam brangkar yang dibatasi oleh tirai di setiap tiga brangkar. Tiga untuk siswi dan tiga lainnya untuk siswa.

Jangan ditanya mengapa Raina yang notabenne adalah murid IPS bisa mengikuti ekstrakulikuler UKS. Jawabannya simpel, karena Raina benci sakit dan luka. Hal itu mendorong Raina untuk mengikuti ekstrakulikuler satu ini demi mendapat ilmu perihal pencegahan dan perawatan saat sakit ataupun kecelakaan.

Di tengah obrolan Mbak Yuyun dengan Liam, Raina dapat mendengar suara langkah kaki gedebak-gedebuk. Cukup ramai hingga Raina tertarik dan menyibak tirai biru penutup brangkar.
Gadis itu mengernyit saat mendapati beberapa siswa berseragam futsal berlarian memasuki UKS-tanpa melepas sepatu futsal mereka. Dan Raina agak geram menyaksikannya. Tetapi, kalau dilihat lagi sepertinya ini kondisi darurat?

Benar saja, salah satu murid itu langsung meminta izin kepada Mbak Yuyun untuk meminjam tandu. Jantung Raina berdegup kencang. Hal yang selalu ia alami saat menyadari akan ada pasien. Satu hal yang ia pikirkan, luka. Jujur, Raina takut luka. Tetapi, gadis itu selalu memantapkan hati untuk tidak takut dan berani mengobati pasien yang luka.

Gerombolan murid ekskul futsal pergi secara serempak. Ada sekitar empat siswa kalau Raina tidak lupa. Dan Raina tidak mengenal satupun diantara mereka. Raina hanya beberapa kali merasa pernah melihat wajah-wajah mereka saat melintasi pinggir lapangan outdoor.

Keheningan menyapa sejenak sampai suara ponsel Liam berdering.

"Izin angkat telepon bentar ya, Mbak. Mama nih," ucap cowok berambut agak botak itu yang dijawab dengan anggukan mbak Yuyun. Liam langsung keluar entah kemana. Sebelum itu Raina sempat mendengar kata 'Halo, Ma?' yang diucapkan oleh pemuda itu dengan ponsel menempel di telinga kiri.

Raina baru saja hendak mendekat ke meja Mbak Yuyun untuk membantunya. Akan tetapi, suara langkah kaki yang begitu gaduh kembali terdengar.

"Awas, awas!"

"Berat banget njir!"

"Badan kaya lidi gini ternyata berat juga ya!"

"Cemen lo! Segini doang berat!"

"Heh! Diem dulu bangsat!"

Raina hanya meneguk ludahnya saat menyaksikan keempat siswa berseragam futsal tadi kembali ke ruang UKS. Kini mereka membawa tandu dengan seseorang berbaring diatasnya. Seorang pria berambut pirang yang pastinya tidak Raina kenali.

Mbak Yuyun langsung berdiri dan menyibak tirai biru penutup brangkar khusus siswa. Raina dengan cekatan meraih minyak kayu putih dan berjalan cepat mengikuti Mbak Yuyun.

"Sepatunya njir!" teriak seorang pria berambut ikal yang setau Raina adalah ketua ekskul Voli. Itupun kalau Raina tidak salah.

"Copotin Har," ucap si pria berahang tegas. Sekilas bentuk wajahnya seperti berbentuk persegi. Raina dapat melihat nama Martin di punggung pemuda itu.

Why Don't We Just Date?Where stories live. Discover now