"Ala, kenape kau tak masak je? Nanti kalau aku rindu masakan kau macem mane?" gerutu BoBoiBoy sambil membuka nasi lemak itu.

Aku duduk di depannya. "Haha. Lebay. 'Kan masih ada Atok dan Ochobot,"

"Ha, Mel. Nanti Atok tak boleh hantar kau. Atok mesti jage kedai. Biar BoBoiBoy dan Ochobot yang hantar," kata Atok setelah selesai menelan kunyahan nasi lemaknya.

Mendengar ucapan Atok, aku hanya mengangguk karena masih mengunyah.

*****

Di perjalanan menuju pelabuhan, aku menceritakan mimpi itu pada BoBoiBoy. Terkadang Ochobot menimpali tentang aku yang mengigau.

Ekspresi BoBoiBoy lesu. Agak menunduk. Apa dia juga turut bersedih?

"Kamu kenapa? Kok, begitu?" tanyaku memperhatikannya.

"M-Maafkan aku, Mel. Aku...,"

"OI! TUNGGU AKU!"

Aku berdecak kesal dan menoleh ke belakang. Terlihat orang asli Betawi itu sedang berlari menuju ke arahku dengan memakai baju yang super tropical. Sendal jepit, celana putih selutut, baju pantai jingga, dan tas ransel berukuran sedang. Perban di kepalanya sudah tidak ada, hanya plester di pelipisnya. Dan... Tumben sekali dia tidak memakai pomade.

"Ganggu mulu," ucapku saat Brendan sudah mensejajarkan langkahnya dengan kami.

Napasnya ngos-ngosan. "Bukannya terima kasih. Aku begini karena nyamper kalian ke kedai cokelat. Kata Atok, kalian udah ke mari," alasannya membuatku mendengus.

"Mane Azura dan Adam?" tanya BoBoiBoy.

"Gak tau. Kemarin pas kita daftar mereka gak ada. Mungkin gak ikut," jawab Brendan santai.

Tak lama, kami sampai di pelabuhan. Kami mencari rombongan SMP Pulau Rintis. Ketemu! Ada di bagian paling dekat dengan laut. Di sana sudah ramai, bajunya juga berseri-seri dan bertema tropical. Mungkin aku satu-satunya murid yang ke pantai dengan memakai baju tema army. Nice!

Di sana, ada banyak orangtua yang mengasihi anaknya masing-masing. Ada yang dinasehati, diberi bekal, dielus kepalanya. Aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur, karena masih ada BoBoiBoy dan Ochobot yang menemaniku. Tidak seperti... kakakku yang sedang menyendiri itu.

Arjuna. Aku menghela napas lega melihat pakaiannya yang tidak setema dengan mereka. Hanya mengenakan celana chino yang digulung, kaos putih tanpa lengan, dan sandal gunung sepertiku. Lelaki itu sedang duduk di tepi jembatan, mengayun-ayunkan kaki sembari menatap pantulan wajahnya di permukaan air.

Kuperhatikan sekitar, perilaku teman seangkatanku tidak ada yang aneh-aneh padanya. Jadi, bisa kusimpulkan bahwa... tidak ada orang yang tahu kalau aku dipanah olehnya kecuali Brendan, Azura, dan Adam.

"Tuh, 'kan, bener. Azura ama si Ustad kagak dateng," gerutu Brendan sambil mencari-cari dua batang hidung nama yang barusan dia sebut.

Tiba-tiba, salah seorang teman seangkatanku melihatku seraya berteriak, "Imelda dah sembuh!"

Aku terkejut. Hampir separuh dari mereka menghampiriku dan mengucapkan selamat. Yah, ada yang memberiku vitamin dan cemilan untuk di kapal nanti. Dan rata-rata laki-laki yang memberi.

"Cih. Aku macem hantu. Tak dianggap," ucap BoBoiBoy dengan helaan napas saat mereka sudah kembali melakukan aktivitas masing-masing. Aku tertawa.

"Jangan gitu, dong. Nih, vitamin. Mau, gak?" aku menyodorkan vitamin berbentuk tablet yang bisa dihisap. BoBoiBoy menolaknya.

"Iri aje nih cah Melayu," sahut Brendan pura-pura tidak melihat.

BoBoiBoy diam saja. Hatiku geli melihat ekspresinya itu.

NOOOTTTT.

Kapal ferry mendekat. Tepat sekali saat guru-guru baru sampai. Tapi, ada yang membuatku sedikit... ilfeel. Ada satu guru yang berpakaian sangat eksotis. Berperut buncit. Memakai masker mata merah. Lengkap dengan topi pantai wanita, yang padahal dia pria. Guru itu juga membawa koper berwarna pink dan sedang menyeruput es kelapa.

Saat aku ingin menunjuk dan bertanya, BoBoiBoy bilang, "jangan tanye,"

"Haduh... Kukira dia gak ikut," Brendan berkacak pinggang melihat tingkah guru itu.

"Siapa itu?" tanyaku pada Brendan.

"Papa Zola. Idolanya si Kak Gopal," jawab Brendan dengan mata malasnya.

"JOM, ANAK-ANAK MURIDKU! KITE PERGI BERLIBUR!"

"JOM!"

"Weh," mulutku menganga. "Semangat banget nih orang,"

"Ayo, Mel," ajak Brendan ketika melihat teman-teman yang lain berbondong-bondong menaiki kapal. Lalu, Brendan melangkah pelan menuju kapal.

Aku menoleh ke BoBoiBoy. Poni yang mengintip dari topinya bergoyang tertiup angin laut. Aku melemparkan senyum padanya, dan merasa sedikit bahagia bahwa dia menyadari senyumku. "Aku pergi, ya?"

Lelaki itu membalas senyumku. Senyum yang teduh, gumamku dan berusaha tidak terlihat terpesona. "Jage diri baik-baik, tao,"

"Pasti," aku mengangguk mantap. "Mau oleh-oleh apa? Batok kelapa? Hahaha,"

"Tak payah,"

"Kok, gak usah?"

"Maksudku, tak payah berupe barang,"

"Terus, apa? Yang namanya oleh-oleh pasti berupa barang,"

"Kau baik-baik je dah jadi cinderamata untuk aku,"

Aku mengangkat alis. "Itu aja?"

"Tak," dia tersenyum lagi. "Jangan tinggalkan aku."

💛💛💛💛💛

Surat Kecil dari Pulau Rintis (BoBoiBoy) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang