24. Kekacauan dari Cemburu

40.9K 1.9K 44
                                    

Rasanya seperti masakan tanpa garam; hambar. Kehidupan Dirga luntang-lantung tak jelas kemana tujuannya, hanya pergi ke kampus pulang ke rumah lalu touring bersama teman-teman komunitasnya. Seperti itu. Tak ingin mengetahui kabar anak-anaknya seperti apa, rasa peduli pun tak ada. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya yang akan menghubungi Kalea jika tak diberinya kabar.

Sementara Kalea, ia tak ingin menghubungi Dirga sama sekali semenjak diajaknya rujuk. Rasanya malas, muak, sedih yang tercampur menjadi satu. Setiap kali Ayya meminta menghubungi Ayahnya, Kalea selalu mengalihkan topik yang lain; takkan membiarkan Ayya menghubungi Ayahnya.

Pagi ini Kalea akan berencana pergi ke tempat posyandu, memasuki bulan ke empat ini Akala butuh imunisasi; DPT. Imunisasi ini perlu karena untuk menghindari penyakit Difetri, Pertisus dan Tetanus.

Setelah memandikan Ayya dan menyuapinya sarapan, Kalea kini berpamitan pada anak sulungnya itu. Keadaan Ayya sudah membaik sejak tiga hari yang lalu. Maka dari itu Kalea sedikit tega meninggalkan Ayya dan berganti mengurusi Akala.

"Bunda ke posyandu, Ayya mau ikut?" kata Kalea sembari memasukkan buku merah muda ke dalam tas milik Akala. Ayya menatap Ibunya itu tanpa minat, terkadang hatinya masih cemburu jika Ibunya sudah beralih pada adiknya. Tapi Ayya malas untuk protes, Ibunya sudah berubah.

"Ayya mau ikut?" ulang Kalea kembali karena tak mendapat jawaban dari Ayya.

"Nggak," jawab Ayya dengan gelengan kepalanya singkat.

"Yakin nggak mau ikut?" Ayya menggeleng, "Ya udah, Ayya di rumah sama Ibu. Yang pinter, ya."

Kalea tersenyum lalu mendekati Ayya dan menciumnya, "Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam,"

Begitu Ibunya pergi, Ayya pun menangis dengan posisi tengkurap. Ia saat ini berada di kasur depan televisi. Ayya menangis sembari memanggil Daddy-nya. Karena sudah lama Ayya tak pernah menghubungi Ayahnya. Ayahnya pun tak pernah berkunjung, lagi.

Bu Farida yang sedang berada di dapur itu mendengar tangisan segera mencarinya. Saat berada di ruang televisi yang nangis ternyata cucunya. Bu Farida pun mendekatinya dan bertanya.

"Ayya kenapa?"

Ayya tak merubah posisinya saat mendengar Neneknya ada di sana. "Ayya ka-ngen Daddy,"

"Ayya mau telepon Daddy?" tawar Bu Farida membuat Ayya langsung berbalik dari posisi tengkurapnya. Menatap Neneknya dengan serius lalu mengangguk dan mengusap air matanya.

"Sebentar, Ibu ambil hape dulu." katanya sambil berlalu. Sementara Ayya masih sibuk dengan mengusap air matanya hingga Neneknya kembali.

Ternyata sudah terhubung sambungan telepon itu, sebab Bu Farida sudah mengobrol terlebih dahulu dengan Dirga. Bu Indria menatap Ayya lantas tersenyum.

"Kalea kemana, Ma?"

"Kalea ke posyandu, anterin Akala imunisasi."

"Ayya mau ngomong sama Daddy?" Ayya langsung mengangguk, "Hapenya Ibu nggak ada gambarnya Daddy loh, ya." ujar Bu Farida mengimbuhi. Ayya tak menanggapi yang terpenting ia bisa berbicara dengan Ayahnya.

"Daddy," panggil Ayya begitu menerima telepon genggam tersebut.

Dirga terkekeh di seberang sana, "Kata Ibu, Ayya abis sakit ya?"

"Iya. Ayya kangen Daddy, Daddy nggak kangen Ayya?"

Dirga terenyuh mendengar pertanyaan Ayya, ia tersenyum walaupun itu tak tampak di depan Ayya. "Kangen dong, Ayya kan anak Daddy yang cantik, manis, baik, pinter lagi."

R E P E A T | TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang