11. Begini Saja

39.7K 2.2K 19
                                    

Aku perlu belajar, belajar mencintaimu dengan cara yang benar. Ketika hati dan ragamu tak bisa ku miliki, maka ku katakan pada hati kecilku bahwa cinta tak harus memiliki. Terima kasih, mas Dirga
.
.
.

Setelah orang tua Dirga selesai menikmati makanan di kantin rumah sakit, mereka pun akhirnya kembali ke tempat ruang inap Dirga. Bukan itu juga alasannya, tapi Ayya sudah merasa mengantuk. Membuat mereka segera mengakhiri acaranya--agar Dirga dan Kalea berdua.

Pak Beni, Ayah Dirga itu menggendong cucunya--Ayya. Karena tak tega melihat balita itu terkantuk-kantuk sedari tadi. Sepanjang perjalanan menuju ke ruangan Dirga, orang yang dipanggil Akung itu mengelus punggung Ayya dengan menaruh kepala Ayya di pundaknya. Dan ketika tiba di ruangan Dirga, Ayya sudah terlelap.

Sementara dua orang yang ada di dalam ruangan itu tampak tak saling mengenal. Mereka berjauhan, Dirga yang menonton televisi sedangkan Kalea sibuk dengan ponselnya. Kalea yang mengetahui keberadaan orang tua yang masuk ruangan langsung menyimpan ponselnya ke dalam tas.

"Ayya tidur, Pa?" tanya Kalea saat melihat Ayya yang digendong Kakeknya itu dengan kepala menyandar di pundak. Kalea hanya mendapat anggukan kepala sebagai jawaban.

Pak Beni pun membaringkan Ayya di sofa tempat Kalea duduk. Kalea segera menyingkir dan membiarkan Ayya tidur di sana.

"Udah minum obat?" tanya Bu Indria pada Dirga.

"Udah, Ma."

Lalu Bu Indria beralih menatap Kalea dan tersenyum, "Makasih, Ka." Kalea mengangguk ragu untuk membalas ucapannya tak lupa juga ia berikan senyuman.

Setelah itu Bu Indria menatap Dirga dan Kalea secara bergantian, Kalea bingung sementara Dirga mengerutkan dahinya.

"Apa kalian nggak ada niatan untuk rujuk kembali?" pertanyaan itu terlontar begitu saja, membuat keduanya--Kalea dan Dirga saling terdiam. Kalea sendiri mau-mau saja bahkan ia ingin rujuk dengan Dirga untuk memperbaiki hubungan sebelumnya. Namun jika mengingat perkataan Dirga saat di rumah sakit pada beberapa waktu lalu ia merasa sangat sakit hati, dan perasaannya yang dulu begitu menggebu itu kini menguap entah kemana. Sementara Dirga, ia merasa kecewa karena ketika separuh hatinya itu diserahkan pada Kalea yang didapatinya adalah penghiantan. Maka dari itu, Dirga tak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan menikahi wanita yang sama.

Karena tak mendapatkan jawaban dari keduanya, maka Ibunya Dirga itu menatap Kalea. Mungkin kehamilan Kalea bisa menjadikan mereka bersatu kembali.

"Ka, Mama pengen kamu jujur mengenai kehamilan kamu." napas Kalea tercekat mendengar ucapan yang begitu ambigu untuk dipahami; janin yang di kandung Kalea anak Dirga atau hasil dari hubungannya dengan lelaki lain.

Kalea terdiam sejenak, "Maaf, Ma. Tapi Kalea nggak bisa cerita tentang kehamilan Kalea." Kalea memilih merahasiakannya, ia takut janin yang di kandungnya itu di tolak lagi.

"Kenapa, Ka?"

Bibir Kalea yang terbuka itu terkatup kembali karena mendengar Dirga bersuara lebih dulu, "Karena janin yang dikandung itu anak selingkuhannya, Ma. Lagian ngapain sih, Mama ngurusin dia--wanita murahan."

"Dirga!" sentak Ayahnya.

Kalea yang mendengar kalimat menyakitkan tersebut telah berderai air mata, namun kemudian ia hapus secara kasar dan segera menggendong Ayya untuk dibawa pergi dari sana. Tanpa memikirkan keadaan kandungannya. Ia tak ingin mendengar kata-kata lain yang lebih menyakitkan dari ini. Maka dari itu ia memilih pergi.

"Kalea," Bu Indria memanggil. Kalea mengabaikannya dan terus berjalan. Namun ketika di ambang pintu Kalea merasakan sakit pada bagian perutnya. Kram. Kalea berhenti sejenak untuk memperbanyak tenaganya. Saat hendak melangkah lagi ia malah merintih kesakitan.

R E P E A T | TerbitWhere stories live. Discover now