Log 10 : Jenggot Hitam dan Kapten Ahab

5 1 0
                                    

Bisik-bisik itu membunuhku. Menikam hasratku dengan lidah-lidah runcing. Desis-desis mereka mencabik-cabik bajuku hingga kutelanjang tak berbenang. Kemudian, menguburku dengan segala bangkai yang di atas liang lahatku terukir nisan harapan. Sampai kutelan mimpi, bisik-bisik itu tidak diakhiri.

Kubuka mata, abu-abu yang menyapa. Rintik di pipiku mencapai kemarau saat kuucap salam di pagi hari. Masih terngiang cemooh yang mereka lontarkan kepadaku tentang aku, sebagai guru, yang memandu murid-muridku berlari sebagai individu perusuh.

Tegur yang sering berima kini tak menggema dan terganti dengan tatap penuh murka. Mereka pun menggiring anak-anak agar tak bertegur sapa denganku. Polosnya anak-anak terurai oleh tetangga yang mengatai. Mentari enggan bersemi lagi di wajah kampung ini. Aku seperti terisolasi seperti jijik tahi yang tercabuli.

Kulangkahi ramainya pasar. Kutangkap beberapa bisik-bisik pembunuh di antara ratusan melodi tawar-menawar. Lidah di pasar ini lebih tajam daripada lidah-lidah di sebelah rumah. Ditancapkannya kata-kata nista di jantungku, dalam. Sakit, kubungkam telinga, kubuang mata ke bawah. Namun, cela menghina terus membayangi raga. Mereka masih mengekori sampai kututup pintu.

Hari demi hari, kewarasanku ditelan waktu. Mencoba aku merangkak maju, tetapi selalu tersandung ragu. Aku tak tahu, aku bingung antara dua pilihan: tak melangkah keluar atau menghirup udara segar.

Terkurung, kalau tak punya alasan aku tak berkerudung, tak menyalami kampung. Matahari setiap hari mengunjungiku yang terantai malu, tetapi tak pernah kubalas kebaikannya itu. Aku sendiri, mencoba berdiri tanpa ada yang menemani. Lelah, aku tak tahan dengan jendela yang bersandiwara seperti bar penjara.

"Kita sudah tak punya alasan tinggal di tempat ini lagi," kata bapakku yang tidak tahan aku termangu. "Kita lebih baik pindah ke tempat ibumu dulu."

"Aku tak tahu, Bapak. Aku masih bingung. Aku tidak bisa meninggalkan murid-muridku, impianku, dan segala hal di daerah ini yang belum terselesaikan," kataku.

"Kamu sudah tak punya murid. Impianmu terkikis oleh mereka yang dengki. Kau telah selesai dengan urusanmu," kata bapakku. "Dengan atau tanpamu, Bapak akan pergi!"

Dititipkannya sunyi bersama pilihan yang tersembunyi. Pilihan itu tak bisa kutolak, tak bisa ditawar. Bapak benar adanya.

Kebaikan telah luntur di hati mereka yang kasar bertutur. Aku mencoba sabar, tetapi mereka lapar berkata kasar. Aku lari, mereka mengerjai setiap hari. Aku dikandangi seperti ayam mati. Aku selesai. Akan kutebang pohon mimpi di tempat ini dan menanamkannya di tempat selain di sini. Semoga tanah di sana lebih subur dari kampung ini.

Koper menelan daster. Debu-debu mulai merangkak dari langit-langit ke perabotan. Laba-laba bersiap menuai jaringnya, hanya tinggal menunggu aba-aba. Pintu ini pun menutup untuk terakhir kalinya dengan tanganku. Rumah semakin mengecil, setitik, lenyap.

"Selamat tinggal rumah. Semoga kau tidak melupakanku," kataku dalam hati.

Bapak mengeretku erat agar kakiku tak menoleh. Tak diperhatikannya dara-dara malang yang mencoba mengisi kosongnya perut. Kaki mereka terinjak, paruh mereka berteriak. Sayap mengembang, mata memaku jauh di pandang. Mereka terbang tanpa menoleh ke belakang. Angin menghanyutkan mereka ke perbatasan kampung.

Ditenggerkannya dahan untuk melicinkan pikiran. Ketika akal mereka melaju lesu, ulat-ulat bulu merambat layuh. Tak dihiraukannya ulat-ulat itu sehingga serangga melata itu lewat tanpa ragu. Lusinan ulat melewati daun dan embun lalu terbang dengan anggun.

Beberapa mencapai tanah, beberapa mendarat di pundak orang tak ramah. Disentilnya ulat-ulat menjijikkan itu dari pundaknya tanpa kasih. Sepatu dan jari adalah senjata yang tak dapat dihindari. Semua ulat pun menemui mati.

Samudra di Tengah Jakarta (TAMAT)Where stories live. Discover now