Samudra di Tengah Jakarta

95 2 0
                                    

Kakekku pernah berkata, "Manusia seperti perahu di tengah samudra." Kecil pemikiranku akan maksud dari kalimat itu dahulu. Meski Kakek menorehkan lidah serta mengidungkan pena untuk berbicara, kalimat itu, tidak pernah terukir dengan baik di kepala. Sepuluh tahun mencicipi asin kehidupan Jakarta, baru tersemat kalimat itu, tidak hanya di kepala, tetapi di jiwa dan raga. Kupedomankan diksi-diksi bijak yang terlukis oleh lidah Kakek ke setiap lini hayat meraba, mengaidahkannya seperti rumus fisika. Narasi hidupku bak samudra dengan aku sebagai kano kecil yang mencoba bertahar meraih khatulistiwa.

Penyerapan ke sendi-sendi kehidupanku akan rangkaian petuah Kakek agaknya terlambat. Jangkarku telah lenyap, ditelan dasar samudra gelap. Lalu-lalang aku tak berpenambat. Tergilasnya kapalku dalam gerus ombak. Harap tak merambat, nestapa menggenggam erat.

Sesal aku menelantarkan jangkar. Mengapa dia meninggalkanku di tengah samudra keruh? Apa salahku? Apa setan telah mengasah lidahku menjadi setajam pisau lalu mengusir jangkarku? Semua jawab membisu, hanya cermin yang memberitahu.

Ternyata akulah pelaku yang menanggalkan tali pada jangkarku sehingga dia jatuh merapuh. Tentu tanpa julur merengkuh, jangkar akan luruh bagai peluru. Karang, layar, kapal, bahkan ikan enggan memangku jangkar berat itu. Terantuk dia dengan dasar samudra yang menyapanya ragu-ragu. Mengaram. Dingin, menggigil menantikan kuburan. Cahaya enggan mendekapkan. Gelap mencabik-cabiknya berangasan, meremaseratnya nian.

Jangkar itu... tak terselamatkan. Ibu... tak mungkin kukembalikan.

Andai aku mampu memutar waktu untuk menampar diriku di masa lalu. Menambat tali ke tunggak semu, lalu sejenak merangkai rindu kepada Ibu untuk mewarnai kelabu yang menggebu-gebu.

Kerut jarinya masih hangat di pipiku. Hangat, lembut, merangkum rindu, menyemat benih sungguh, serta menghapus ragu. Waktu menghanyutkannya ke masa rapuh dan aku mencampakkan di lorong semu saat badai berkecambuk. Tidak ada satu jari pun yang sudi membelai jiwa malang Ibu. Tidak ada dekap yang menghangatkan tubuh Ibu yang membeku. Sendirian, tenggelam ke ngarai seperti sauh.

Bajingan, jika ada diksi yang lebih kotor lagi akan kugunakan untuk menyebut diriku beberapa hari lalu yang mengendurkan tali kasih kepada Ibu. Doa kulayangkan agar Ibu kembali ke gendonganku. Tanganku menadah mengharap asa turun dari angkasa.

Setang sepeda tak berdosa begitu sabar menghadapi diriku yang menyemburkan cabai dari mulutku. Roda-rodanya merintih pedih oleh kayuhan kaki letih. Keduanya belum merebah istirahat dalam dua hari, terus dipaksa mengucur peluh meski mentari telah mati. Aku, pemilik mereka pun belum menyantap tidur selama tiga hari.

Anggara Jakarta meluap-luap. Beringas terik dan polusi Ibu Kota menyengat hingga dibuatnya aku kalap. Dideranya diriku hingga bertekuk lutut di hamparan kemacetan perempatan. Pasar kukunjungi, kuburan kulayati, panti kuketuki, tetapi bukan Ibu kutemui. Kantor polisi kusalami, tetapi mereka lena melangkahkan kaki. Sendiri lagi aku mencari.

Lama menyelami Jakarta, jejak Ibu mulai menilas dari lidah orang tersua. Meski kusut, tak semrawut. Kuurai kusutnya jejak Ibu. Sepeda kutambat, segera pun aku merangkak. Bayang semu Ibu menyeretku ke tengah manusia bersemi, tempat ramai yang penuh dengan derap petarung ekonomi. Orang lalu-lalang, berjujai tak henti-henti. Keringat memekat, bau Ibu pun mulai lenyap. Terhimpit aku dalam gesa dan gelisah yang mendesak. Di tengah keramaian, jejak Ibu menyapa, menuntunku keluar dari sibuknya massa.

Kakiku terpaku. Kujumpai sepekat manusia berkumpul satu. Ibu-ibu rumah tangga menyemat panik dengan bisik-bisik. Kutitipkan telinga, terpetik kata menggetarkan jiwa. Kata itu tak diinginkan semua orang menjadi kenyataan. Kata yang tak mau kuselipkan di antara nama-nama orang yang kukenal.

Kupilah, kutelusuri desis ibu-ibu rumah tangga untuk merangkai puzel agar utuh gambarnya. Bingkai menyeramkan pun terpotret nyata. Gang kecil di tengah perumahan menjadi saksi bisu pertemuan seorang anak dengan ibunya. Akhirnya, Ibu... kujumpa. Lengkung punggungnya merangkul paldu. Kepala merunduk, termangu-mangu. Tirai rambutnya sempat mengelabuiku, tetapi aku tahu, Ibu adalah Ibu.

Sungkem kusembahkan. Kalimat yang membungkam selama berhari-hari akhirnya membura bersama lidah, "Ibu, maafin Kano... Ibu... Kano khilaf."

Bibir Ibu yang lebih tandus dariku beringsut, tetapi tak satu pun kata terbetik. Kupinjamkan telingaku lebih dekat lagi. Desis merasuki telinga, menggetarkan gendangnya.

"Ta... sah... minta... m... af... Ibu... yang... salah...." Tangannya merogoh saku, terjulanglah selusin sendok dari sana. Sendok, salah satu keping domino yang ikut mengestafetkan bencana ini. Tuhan, aku benci benda itu.

"Seka... rang... Ibu... tak lagi... salah."

Mendung merampas suasana. Lenyai tangan Ibu menghujan selusin sendok. Berdentinglah lantunan perpisahan saat sendok menapak tanah. Pelupuk Ibu menemui senja. Mentari tanpa angkasa terbit di bibirnya. Diantuknya tanah dengan kepala.

Terpetik dari sini kutipan kayu yang ditinggal api untuk menjadi abu.

Terbesit kata itu di kepalaku lagi, melentingkan dirinya bersama dengan rasa bersalah dan penyesalan. Kata yang sebelumnya terucap oleh ibu rumah tangga dan menyeretku ke tempat ini tak henti-hentinya menggema di tempurung kepala. Kata itu mengisi rongga-rongga hampa dan menyemat benih-benih nestapa. Kata itu adalah mati.

Samudra di Tengah Jakarta (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang