(2) (Prolog) : Pengiring Pengantin (lagi)

Start from the beginning
                                    

Pandji menggaruk alis dengan sengaja, "maaf saya tadi coba ingat - ingat, kaya pernah ketemu. Ternyata benar."

Airin tersenyum sekilas kepadanya lalu kembali memalingkan wajah ke depan, "gapapa, Mas. Wajar."

"Setelah ini pasti nggak bakal lupa," entah setan apa yang menjebol wibawa Pandji hingga mengatakan itu.

Gombalannya pun dihadiahi senyum paling manis dari bibir berpoles lipstik merah muda itu, "kaya yang bakal ketemu lagi aja."

"Jangan gitu dong, kan resepsi nikahan lain masih banyak."

Gadis itu tergelak pelan, "dih! Airin nggak gabung WO, Mas. Kemarin tuh karena Nana minta tolong Airin aja. Terus ini karena Airin udah kenal Mba Kumala dari kecil."

"Kalau begitu ketemunya di nikahan nanti ya sebagai yang lain," celetuk Pandji praktis.

"Amin!" sambar Airin asal - asalan. Perhatiannya langsung fokus ke depan saat acara dimulai.

Memangnya siapa yang tahu bagaimana takdir membawa kita, pikir Pandji, bisa saja kita bertemu di atas kasur malam ini, membuat bayi tapi sengaja digagalkan hasilnya. Siapa yang tahu.

Pola pikir Pandji sangat sederhana, apa yang dapat dinikmati dari seorang gadis cantik? Tentu saja kelembutannya ketika bergerak di bawah tubuh Pandji. Realistis saja. Ia melirik sepatu yang tidak terlalu tinggi itu kemudian membandingkan tinggi tubuh mereka. Kesimpulannya: seks mereka akan sempurna.

Setelah prosesi resmi selesai dilangsungkan, mereka berdiri berkelompok dan mulai mengipasi diri. Masing - masing dari mereka mulai berpencar mencari pereda dahaga.

"Mas, Airin mau antre minum. Mau diambilkan juga?"

Saat itu Pandji mendapatkan panggilan di ponselnya, ia pun menjawab sambil lalu, "boleh. Saya jawab ini dulu ya."

Berburu minum lewat siang bolong yang panas memang membutuhkan perjuangan. Para pria bisa se-sensitif wanita, dan para wanita bisa seganas pria ketika saling sikut. Dan Airin menjadi salah satunya, ia cukup puas mendapatkan dua gelas minuman segar dan merasa sebanding dengan perjuangannya.

Tapi Pandji tidak ada di tempat mereka berpisah. Dengan hati - hati Airin menyelinap di antara tamu yang berdiri sambil membawa dua gelas penuh yang rawan tumpah. Belum lagi pengait sepatunya yang mulai terlepas, sepatu yang ia pinjam pada Gyandra memang serasi namun bukan ide yang bagus dari segi kenyamanan.

Langkah Airin terhenti ketika melihat Pandji di sana, berdiri berdampingan dengan seorang wanita yang sepertinya baru saja tiba. Pandji menggandeng tangan wanita itu dengan posesif, sudah jelas hubungan mereka bukan teman apalagi kakak-adik. Mereka sepasang kekasih—karena semua pendamping pengantin yang dipilih oleh Kumala jelas masih lajang.

Airin tidak tahu apa tepatnya yang ia rasakan sekarang, ia hanya merasa konyol berdiri di sana dengan dua gelas minuman yang membasahi tangan. Ia meletakan satu gelas ke atas meja di sisinya kemudian berbalik. Sebelum menjauh ia mencoba menoleh ke belakang dan tatapannya langsung bertemu dengan tatapan Pandji yang bisa dibilang bingung tapi juga tidak. Pria itu tidak mencoba mencegahnya menjauh melainkan melepaskannya.

Sambil melangkah pelan Airin menyesap es buah yang mulai tidak segar. Rasa asam membantunya meringis lalu tersenyum tipis memikirkan betapa muda dan konyolnya ia.

Airin berbaur dengan keluarga dan teman - temannya ketika band mulai memainkan musik perkusi dan membawakan lagu.

~Sejak jumpa kita pertama
Kulangsung jatuh cinta
walau kutahu kau ada pemiliknya~

Dari sudut ini entah kenapa ia dapat melihat Pandji dengan begitu jelas, ia tak dapat menahan diri memperhatikan mereka. Pandangannya selalu saja melayang ke sana walau ia sudah berusaha asyik dengan obrolan 'betapa tampannya mempelai pria' dan 'betapa beruntungnya mempelai wanita'. Tapi Airin bersyukur karena Pandji tak pernah menyadari perhatian diam - diam itu. Sebenarnya ia malu karena sudah menatap penuh damba pada pria milik orang lain.

~Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani
Ku tak dapat menghindari gejolak cinta ini~

Airin berpaling pada gadis di sebelahnya lalu tersenyum, dan dengan cara yang meyakinkan ia memberi opini seakan ia memang tak melewatkan satu baris pun obrolan mereka. Tapi Pandji tahu separuh perhatiannya tidak berada di sana melainkan terarah pada dirinya. Dia bukan pria lugu yang tidak dapat merasakan jenis lirikan penuh hasrat itu. Yah, kadang koneksi seperti ini mudah terjadi ketika mereka berada pada frekuensi yang sama (baca: suka sama suka), dan Pandji mengepalkan tangannya erat - erat menahan serangan gairah hanya dari sebuah lirikan polos itu.

~Maka ijinkanlah aku mencintaimu
Atau bolehkah ku sekedar sayang padamu~

Airin terdiam dan memperhatikan band membawakan lagu yang asing di telinganya, hanya saja lirik lagu itu seakan mengisahkan suasana hatinya saat ini.

"Tahu nggak ini lagu siapa?" tanya Airin.

Salah satu dari mereka menjawab dengan ragu, "Noah bukan sih?"

"Chrisye kali," celetuk yang lain.

~Oh, izinkanlah aku mencintaimu
Atau bolehkanlah ku sekadar sayang padamu~

"Ya gila juga nih yang nyanyi, momen kaya gini kan nggak pas banget," omel yang lainnya lagi.

Tapi Airin tidak peduli, baginya lagu ini sangat pas dan sesuai dengan momennya. Ia tersenyum kepada diri sendiri kemudian melirik Pandji sekali lagi, mengagumi keseluruhan ciptaan Tuhan untuk yang terakhir kalinya dan berharap takdir tidak konyol mempermainkan perasaannya lagi. Baru kali ini Airin merasa gelisah dan penuh damba akan seorang lelaki, mungkin karena tuntutan Bunda di rumah, ia berpikir.

~Maafkan jika ku mencintamu
Lalu biarkanku mengharap kau sayang padaku~

Ketika itu Pandji yang sedang serius mendengarkan ocehan pasangannya seakan menyadari perhatian Airin, ia melirik sebelum benar - benar memalingkan wajah ke arahnya. Anehnya senyum di bibir Airin membuatnya gusar, senyum itu seperti... tanda menyerah, sebuah kekalahan, dan juga... berpamitan?

Gadis itu akan pergi dalam artian segalanya. Walau Pandji tidak membalas senyumnya dan tampang bajingannya masih setenang biasa Airin tetap mengangguk kecil sebagai sebuah isyarat khusus untuknya. Airin baru saja melepaskannya dan membuat Pandji tidak rela kehilangan. Sial!

"Eh, Ji-" Kartika menggamit lengannya lebih erat, "lo kan vokalis, lo inget dong lagu tua ini. Judulnya apa ya?" tanya Kartika penasaran dengan perhatian penuh tertuju pada band di panggung.

~Oh, izinkanlah aku mencintaimu
Atau bolehkanlah ku sekadar sayang padamu
Maafkan jika ku mencintamu
Lalu biarkanku mengharap kau sayang padaku~

Airin berbalik pergi walau Pandji seakan tidak menangkap isyaratnya, pria itu diam seperti patung, kecuali tatapan matanya yang tidak Airin pahami. Sembari menuju pintu keluar ia menjepit pouch di ketiak lalu mulai melepaskan satu per satu aksesoris giwang milik vendor. Bibirnya tersenyum kian lebar mendengar lagu yang mulai samar di belakangnya.

Ia pun mengamini, tidak salah kan jika aku memang jatuh cinta? Aku juga tidak bisa mendikte hatiku untuk tidak jatuh cinta, tapi aku bisa menasihati hatiku sebelum terlambat. Bahwa dia milik orang lain dan aku tidak berniat menjadi pengacau. Cukup sampai di sini, sekedar mengharap kau sayang padaku entah bagaimana caranya hanya takdir yang bisa. Tapi untuk sekarang... lupakan Mas Pandji.

"Kala Cinta Menggoda," jawab Pandji ketika Airin sudah tidak terlihat dari jangkauan matanya.

Sejenak Kartika kebingungan, pasalnya dia pikir Pandji tidak berniat menjawab. "Oh iya, bener!" Kartika menyandarkan kepalanya di pundak Pandji yang kokoh sambil mencibir, "lagu ini tuh buat cewek - cewek yang tergila - gila sama lo. Seheboh apapun usaha mereka, mereka nggak bakal bisa dapatkan lo. Itulah hebatnya perjodohan ya, Ji."

"Lagu ini juga buat Marvin," balas Pandji dengan senyum sinis, "selama apapun dia kurung lo dalam sangkar emasnya, ujung - ujungnya lo milik gue."

Kartika mendengus, "terserah, tapi hati gue milik dia."

~Maafkan jika ku mencintamu
Lalu biarkanku mengharap kau sayang padaku~~

Pandji memalingkan wajah kembali ke arah pintu yang dilalui Airin lalu bergumam, "terserah."

Romantic RhapsodyWhere stories live. Discover now