Two - Laras

35 2 0
                                    

Laras mendesah kesal di ambang pintu kafe. Menatap jengah pada butiran air yang turun deras mengguyur kota kembang ini. Bahkan sudut jarum jam yang melingkar  berwarna maron di pergelangan tangannya saja baru  menunjukan pukul 10 lewat, namun cuaca akhir akhir ini memang tidak pernah menentu dan berganti semaunya.

Membuatnya sering was was jika bepergian cukup jauh dari rumah seperti saat ini. Untung posisinya yang tengah beruntung berada di dekat deretan per-kafe-an. Kalau tidak dengan terpaksa Laras meski putar arah pulang lebih dulu untuk melanjutkan tujuannya ke taman kota. Karna pasti sudah basah kuyup.

Untuk menemui seseorang yang semalam sudah sepakat menentukan tempat dan waktu untuk menceritakan sesuatu. Sebuah hal yang tidak bisa di jelaskan melalui telepon atau pun chating.

Laras menggeser se-jengkal kesebelah kiri saat beberapa orang berlalu lalang melaluinya memasuki kafe. Laras memang tengah berdiri terlalu di ambang pintu kafe.

Laras memutar tubuh sambil mengusap usap kedua telapak tangan pada sweater maronnya yang terlihat senada dengan warna jam tangannya.

Aura dingin sudah mulai menusuk pori pori kulitnya walau terbungkus setelan tebal. Aroma tanah basah mulai menusuk indra penciumannya Laras menadah menatap  langit yang menggumpal hitam dari kejauhan sana. Terlihat sepertinya hujan memang akan turun lebih lebat itu tandanya mau tidak mau dia harus menunda atau hanya sekedar menggeser waktu yang sudah di tentukan semalam.

Laras mendesah membuang oksigen lewat mulutnya mencengkram mengepalkan kedua telapak tangan sebelum kemudian dia memutuskan melangkahkan kaki memasuki kafe. Percuma, menunggu sampai lututnya pegal juga hujan tidak akan berangsut reda secepat manusia mengedipkan mata.

Sedikit enggan Laras menggeledah mencari meja kosong untuknya berdiam diri menunggu hujan berhenti mengguyur kota dengan memesan beberapa makanan kecil yang sesungguhnya tidak terlalu dia minati.

Suasana ruangan di dalam tidak terlalu dingin, lebih terasa aura hangat. Entah mungkin untuk menarik pengunjung agar berbetah lama lama di kafe pada musim penghujan seperti ini? Atau memang suasana di sini seperti ini. Laras sendiri tidak tahu menahu karna ini kali pertama dia memasuki dan menginjakan kaki di kafe pinggir jalan yang tidak Laras ketahui apa namanya.

Alunan musik terdengar pelan berputar di mp4 player membuat suasana semakin terasa nyaman.

"Mau pesan apa?" Barista itu bertanya tepat di sebelah kanan pundaknya. Suaranya terdengar halus dan berwibawa dengan cepat Laras menengok menatap sosok yang baru saja menyapanya.

Laki laki beralis mata tebal dan berhidung tulang tajam itu tengah tersenyum sopan sedikit membungkukan tulang punggungnya. Mengenakan setelan kaos putih bercorak garis garis kotak warna coklat.  Sepertinya itu ciri ciri kostum pelayan yang sudah di tetapkan manajer di sini, mungkin.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya mengulang membuat Laras tercengah menggigit bibir bawahnya kuat kuat menatap kesetiap arah sudut kafe untuk menemukan jawaban atas kebingungannya.

"Ah_,"  enggak mungkin aku jawab numpang berteduh ... Jadi?, "Tolong buatkan saya hot latte."

"Baik ada lagi?"

Laras menatap lamat lamat Barista di depannya yang masih setia menunggu, dia menempelkan ujung jari telunjuknya pada pelipis kanan dan di garuk garukan pelan seolah tengah berpikir.

"Bawakan saya makanan yang tidak terlalu berat saja. Cukup hanya dua itu saya akan mencari meja untuk duduk." perintahnya perlahan Barista itu mundur selangkah lalu membungkukan tubuh tersenyum sebelum kemudian permisi pergi membuatkan pesanannya.

Selepas kepergian Barista tadi tidak membutuhkan waktu lama untuk Laras menemukan meja kosong yang cocok untuknya duduk menikmati hot latte pesanannya dan satu makanan untuk menemaninya melewati hujan di luar.

Meja bulat bergrapitasi coklat beludru dengan dua kursi saling berhadapan itu tertangkap indra penglihatannya di sisi tepat tembok kaca besar yang menjadi rangkaian bangunan kafe. Dengan leluasa Laras akan bisa langsung menangkap peristiwa apa yang tengah terjadi di luaran sana lewat dindng kaca lebar itu.

Dari arah timur terlihat cipratan air hujan menabrak dinding kaca kafe. Mengalir rintik rintik berjatuhan di bawah menjadikan pandangan melebur.

Tidak peduli derai hujan di luar sana, Laras memilih terpokus pada layar ponsel di depannya yang tengah di mainkannya. Mencoba menghubungi seseorang di sebrang sana yang sepertinya juga tengah terjebak di tengah tengah tumpahan air hujan menuju taman kota.

"Aku ingin ketemu Ras. Plies sekali ini saja?"

"Buat apa lagi ? Plies Don kamu tau aku terpukul atas semua ini. Dia pergi udah 2 tahun yang lalu dan sampai saat ini aku masih terus menyimpan semua bayang bayang dia."

"Ada satu hal yang tidak pernah kamu tahu tentang dia."

"Apa?"

"Sesuatu yang akan membuat kamu sadar Ras. Cinta bukan sebuah hal yang bisa kamu salahi terus menerus."

"Ras?"

"Hmm ..."

"Aku tahu ini berat. Aku sudah ajak Fita buat datang dan dia juga orang yang akan jelasin beberapa bagian yang sempat tidak kamu ketahui dari dia."

"Pesanannya Mba. Masih pagi jangan melamun." Laras tercekat menegakan posisi tulang punggungnya dan menatap Barisa. Laki laki yang baru saja menaroh dua pesanan di mejanya lalu membungkuk hormat sambil tersenyum memeluk baki dalam dekapan dadanya lalu pergi setelah mendapati ucapan terima kasih darinya.

"Ah! Terima kasih." Laras memijat pelipisnya mengamati uap panas yang menggupal menari nari di atas hot latte-nya.

Percakapan semalam dengan Doni terasa terus terngiang di dalam otaknya. Dengan enggan Laras menarik kuping gelas keramik berisi latte panas mengangkatnya pelan lalu mencoba memejamkan kedua mata menghirup menikmati bau karamel panas di depannya sebelum kemudian perlahan menyeruputnya.

Cairan panas latte langsung mengalir pelan menuruni ususnya membuat lambungnya terasa lebih hangat dari sebelumnya.

Baru saja dua-tiga teguk suara ponsel bergetar di atas meja membuat pusat perhatian Laras teralihkan. Menengok sedikit melongokan kepalanya di balik gelas keramik yang tengah berada dalam genggaman tangannya.

Ada nama Doni sebagai si pemanggil.

Laras menaroh gelas latte-nya mengambil cepat ponselnya dan mengangkatnya.

"Hujannya lebat Don. Aku tidak bisa menuju taman kota." kalimat itu menjadi awal pembukaan percakapannya. Laras memicingkan mata mendengarkan lebih serius suara lawan bicara di sebrangnya yang tidak terdengar jelas akibat gemericik air hujan yang tumpah ruah.

Bahkan suara hujan terdengar lebih mendominon dentingan keras air hujan yang menerpa atap seng membuatnya semakin sulit mendengar suara Doni.

"Apa Don. Suara kamu enggak jelas banget." Laras mencoba menutup lubang daun telinga kuping sebelah kirinya berharap dengan seperti itu suara Doni lebih jelas terdengar.

"Aku lagi di daerah dekat rumah kamu Ras. Kalo enggak keberatan aku jemput kamu dan kita pergi ngobrol di kafe? ... Aku bawa mobil ko "

Laras mengkerut kening mencoba menatap ke arah luar pada lalu lalang kendaraan yang terus menerobos hujan di  luar. "Aku lagi di luar kebetulan tadi aku udah posisi di jalan pas hujan. Kalo mau kamu datang aja ke kafe... ? Ini kafe apa? Laras ingat dia sama sekali belum pernah memasuki kafe asing ini walau keberadaannya lumayan dekat dari rumah .

"Ras. Kamu masih di situ?" teriak Doni dengan cepat di anggukan Laras. Anggukan yang sama sekali tidak akan membuat Doni mengetahuinya.

"Nanti aku kirim nama kafe-nya soanya aku juga kurang tahu." Laras memutus panggilan dengan sepihak lalu mencoba menadah mencari bingkai nama kafe yang biasanya terpatri di antara tembok tembok dalam ruangan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 13, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

A Minute For Me..?Where stories live. Discover now