One - Fabian

128 10 0
                                    


Empat-lima gambar berhasil tertangkap sempurna lensa DSLR-nya sosok berpundak tegap dan berbadan ramping yang tengah lincah berloncatan dari bebatuan besar yang ada di tengah tengah sungai juga sekitarnya.

Berulang kali tubuhnya berjongkok dengan satu kaki yang bertekuk untuk mengambil posisi senyaman mungkin dan mengambil dua-tiga gambar lalu berdiri setelah di rasakannya cukup dan terus beberapa kali mengulangnya seperti itu.

Dia menyeka poni rambut yang tergerai ke depan menutupi penglihatan. Duduk bersandar pada salah satu batu tepat di tengah tengah sungai yang memiliki kelebaran sekitar lima meter. Menggulung celana jans hingga selutut membuat bulu bulu kasarnya terlihat menonjol di balik warna putih kakinya yang kontras. Dia menadah menatap teriknya matahari yang belum sepenuhnya menyembul di atas kepala.

Air mengalir tenang dari hulu sungai dengan kedalaman hanya sebetis. Menggelitik kedua kakinya sejuk. Di sekitar sungai tumbuh beberapa jenis pohon cemara juga bidara yang memiliki ketinggian tujuh meter-an kurang lebih berbaur dengan jenis pepohonan lainnya.

Kicauan burung terdengar bercicitan di atas kepala sambil berterbangan berkelompok beradu dengan suara derasnya air yang jatuh menerpa bebatuan dari ketinggi jauh di belakang.

Suara yang berasal dari air terjun berjarak kiloan meter itu lumayan sampai di sekitarnya walau hanya samar samar.

Baru saja bersiap menadah memotret tiga burung yang saling berkejaran di atas pohon cemara. Ponsel di dalam saku celana jansnya bergetar membuat dirinya terpaksa menunda pemotretan lalu merogoh dan mengambil ponselnya cepat mengangkat panggilan masuknya yang bukan lain dari seseorang di rumah.

"Hallo Oma.." sahutnya sambil menyibak poni yang sudah mulai memajang ke arah belakang.

"Fabian. Masih di sungai?"

Dia mengangguk angguk pelan mengkerutkan kening halus lalu menyahut. "Ada apa Oma?"

"Bisa pulang sebentar? ... Ada Aileen."

Baru saja mau bertanya kenapa? Namun nama Aileen yang di sebut Oma di akhir kalimat membuatnya kembali mengatupkan mulut rapat rapat. Mendesahkan resah panjang panjang sambil mengepalkan sebelah tangan di atas batu menimbulkan urat urat rahang yang mengeras.

"Cepat pulang yah! Oma tunggu. Enggak enak di tunggu lama lama sama pacar tuh."

Hah?..

Baru saja ingin membantah kata pacar namun nada panggilan terputus mengakhiri percakapan singkatnya dengan Oma. Membuatnya menggeratkan gigi giginya kesal.

Buat apa dia datang lagi? Apa masih belum cukup pertemuan kemarin dan keputusan yang sudah selesai?
Bukannya dia juga sudah mau menerima dan tidak akan mengusut kembali hal yang enggak akan bisa merubah semua seperti dulu lagi?

KENAPA.....?? teriaknya lantang sedikit menimbulkan gemaan dua kali yang kecil di sekitar sungai.

Dia membungkukan badan mencoba membilas wajahnya dengar air sungai yang jernih menggosok gosokan beberapa kali hingga pori pori kulitnya terasa sejuk.
Namun belum juga selesai membasahi wajahnya sebuah kotak kayu berukuran tiga puluh senti meter berwarna coklat yang tergembok melintas menabrak betis kirinya. Membuatnya terkejut mengkerut kening lalu mengambilnya dan menegakan posisi tubuhnya kembali.

Mengamati beberapa detik kotak kayu coklat bergratasi warna coklat filtur di bagian atas yang sepertinya bagian tutup kotak yang baru saja hanyut dalam keadaan tergemok tanpa kunci.

Punya siapa? Kotak kayunya di gembok tapi kuncinya...?
Apa kuncinya hilang pas hanyut? Ah! Engga... Mungkin kotak kayu ini sengaja di buang dan hanyut dalam keadaan tergemok tanpa kunci agar tidak ada yang bisa membukanya .. ya! pikirnya terpokus pada benda yang kini ada di atas batu di depannya.

Tapi... Kenapa?

Kalo di bawa pulang apa engga papa?

•••

Sudah hampir tiga puluh menit balkon samping rumah itu sunyi. Keduanya saling terdiam entah dengan pikiran sibuk masing masing atau mungkin bingung kalimat apa yang pas untuk memulai pembicaraan. Yang pasti diantara mereka berdua hanya cicitan suara burung yang terbang di atas pohon cemara lah yang berirama membuat suasana diantara keduanya tidak terlalu menegang.

Aileen. Wanita yang sejak tiga puluh menit itu hanya terdiam tersenyum berulang kali menoleh mengamati wajah Fabian yang tetap pokus ke depan tanpa ada niat untuk menatapnya balas.

Anginnya bertiup tenang melambai lambai mengusap helaian anak rambutnya yang terikat tunggal di belakang memiliki warna coklat cream dibagian ujung ekor rambut tanpa poni dan bergaya cukup mini malis dengan atasan kaos sabrina dan flat shoes simple tanpa aksesoris.

"Apa keputusan kamu udah benar benar final, Fabian?" Aileen menunduk mengalihkan dengan cepat pandangan sebelum kemungkinan Fabian. Cowo di sampingnya menatapnya bengis dengan tatapan yang paling tidak dia sukai selama tiga hari terakhir ini.

Namun perkiraannya salah, sepertinya Fabian yang dia kira akan menatap ke arahnya dengan bengis tidak sama sekali melakukannya. Dia tetap bergeming tidak merespon walau hanya sebuah senyum kecil yang biasanya terpatri di sudut bibir tipis Fabian.

Laki laki di sampingnya itu benar benar berubah secepat yang tidak pernah dia sangka sangka. Bagai gumpalan awan yang menggantung di langit seketika itupun hujan deras menyapu kota. Tidak memberikan waktu untuk manusia berlarian menepi dan sekedar meneduh itulah Fabian. Sosoknya benar benar berubah drastis tanpa memberinya lengang waktu. Waktu yang lebih buatnya menerima kenyataan.

Aileen mendesah kesal merasakan aura panas yang mengalir deras di dalam hatinya membuat rembesan cairan bening seketika bergelumpal di dalam kelopak mata dan bersiap luruh.

Namun dengan cepat dia menadah. Mencoba menahan cairan panah itu keluar lolos dari bendungan kelopak pertahanannya. Menarik napas panjang panjang hingga dirasakan cukup kemudian beranjak menyimpan tali tas di pundak kirinya dan beranjak pergi.
Tanpa kalimat apapun yang keluar sekali lagi sekedar pamit pada Fabian yang hanya di lalui begitu saja.

"Saya harap kedatangan kamu kesini untuk yang terakhir kalinya!" ucap Fabian setelah tiga puluh menit lebih diam dan itu berhasil membuat langkah kaki Aileen terhenti tepat dua meter dari tempatnya terduduk.

Aileen menoleh ragu ragu berharap apa yang dia dengar barusan salah total dan saat dia menoleh dia berharap Fabian tengah menatapnya tersenyum, berdiri merentangkan kedua tangannya menyambut keberadaannya dan memeluknya melakukan kebiasaan yang selalu dia lakukan saat merajuk marah.

Namun perkiraan itu kembali salah besar. Fabian yang dia kira tersenyum berdiri dan mengulang ucapan berbeda itu justru tengah duduk menyandar tetap pokus pada pandangan pohon cemara yang berjajar di depannya. Sambil mengarahkan lensa DSLR-nya Tanpa tersenyum bahkan menatapnya pun dia tidak melakukannya walau sekedar membalas.

"Cukup jelas bukan?... Bukannya kemarin sudah jelas bahwa keputusan saya sudah FINAL." ucapnya tanpa menoleh tetap pokus pada mangsa yang akan di potretnya dengan aura dingin tanpa ekspresi.

Aileen mengeratkan cengkraman tangannya pada tali tas yang berselempang dan satu tangannya terkepal erat di bawah sambil mundur perlahan kaku lalu berbalik cepat dan berlari dengan air mata yang sudah berhasil lolos berjatuhan di pipinya. Meninggalkan Fabian yang mendesah kesal lalu mengacak acak rambut berponi belah duanya yang sudah mulai memanjang.

Aku tidak pernah meminta itu dari kamu Aileen. Hubungan ini ternyata salah patal untuk aku pertahankan hingga tiga tahun.

Fabian mendesis menghentakan kakinya kesal.

A Minute For Me..?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang