Prolog

2.8K 60 1
                                    

Terlihat seorang gadis yang masih memakai seragam putih abu-abu terus menangis di sebelah makam yang baru saja didatangi oleh sejumlah orang. Dunianya serasa hancur setelah mendengar kalimat "ibumu sudah dijemput oleh tuhan, doakanlah ia, semoga dia tenang disana." Kalimat itu dilontarkan oleh tetangganya yang ikut prihatin atas kematian ibunya.

Hei? Raga ibunya bahkan sudah menyatu dengan tanah tetapi dimana pria yang pernah mengatakan 'cinta' kepada wanita malang yang sudah tidak bernyawa itu?

Entahlah, gadis itu tetap saja menangis sambil  memeluk sebuah papan putih yang bertuliskan nama 'taniavi kusuma' yang sudah tertancap diatas gundukan tanah yang tertabur bunga.

Suasana hening, yang ada hanyalah isakan gadis itu yang masih saja menangis. Hingga datanglah seorang laki-laki dengan suara khasnya yang deep.

"Stevia Kusuma, setiap manusia ada batas dimana umurnya akan berakhir, dan itu adalah Tuhan yang menentukan. Bukan manusia, hewan, jin, atau apapun makhluk-Nya. Tetapi, lo gak perlu menyalahkan Tuhan, karena Tuhan punya scenario terbaik yang gak akan pernah bisa lo tebak. Stevia yang gue kenal bukan stevia yang ini. Lo boleh rapuh, tapi gak selamanya lo harus kaya gini, steve. Gue disini. Selama Tuhan ngizinin gue buat jagain lo, gue bakal selalu ada."

Alvano Kusuma, kakak laki-laki Stevia yang sudah seperti ayah baginya. Dia memeluk erat adiknya yang sedang rapuh itu, seolah menyalurkan kekuatan.

Stevia menenggelamkan wajahnya di dada bidang milik Vano, senyaman dan selama mungkin yang ia bisa. Hanya Vano lah yang mengerti dia saat ini.

Bukan hanya stevia, Vano pun merasakan hal yang sama dengan stevia. Orang tua mereka sama, hal yang mereka hadapi pun sama, jadi tidak ada alasan untuk tidak saling menguatkan.

"Kak, Kenapa ayah jahat? Ayah tega sama kita sama bunda juga kak. Gue benci ayah kak gue benci ayah!!" Racau stevia masih dalam pelukan Vano sembari sesekali memukul-mukul dada milik Vano.

"Gue ngerti kok apa yang lo rasain, tapi inget steve, ayah tetep ayah kita, kalo gak ada ayah, mungkin kita gak akan pernah ketemu, kita gak akan pernah ketemu bunda bahkan kita gak akan pernah dilahirkan. Jadi lo gak boleh benci sama ayah, sejahat-jahatnya ayah sama kita dan juga bunda, dia tetep ayah kita. Oke?" Tuturnya sembari mengelus puncak kepala Stevia.

Jujur, vano pun sempat berfikir jika ia membenci ayahnya, tetapi vano sadar, dia tidak ada alasan untuk membenci ayahnya sendiri.

"Jadi lo bela ayah kak?" Vano mematung.

"Bukannya gue ngebela ayah steve, cuma lo ga boleh nyimpen dendam kepada siapapun terlebih lagi kepada ayah kita. Udah intinya jangan simpen dendam, kubur rasa dendam itu dalam-dalam, lo juga tau kan bunda gasuka sama orang yang pendendam, jadi jangan bikin bunda kecewa."

Sungguh, ingin sekali stevia membunuh ayahnya, tetapi ia saar jika itu sama sekali tidak menyelesaikan masalah.

Mereka berada di makam tania selama beberapa jam. Mereka saling bertukar cerita di depan makam tania, mungkin tania yang sudah tidak berada di dekat mereka tengah tersenyum. Stevia dan Vano berjanji, satu minggu sekali mereka akan mengunjungi makam tania.

Malam tiba, Stevia dan Vano segera bergegas untuk kembali pulang ke rumah mereka. Sambil memandang sendu makam ibunya, stevia tersenyum.

Steve sayang bunda, bunda yang tenang ya di Surga. Batinnya.

Setelah beberapa menit Stevia dan Vano berada di jalan untuk kembali menuju rumah, akhirnya mereka sampai di depan sebuah rumah yang terbilang mewah.

Stupid (Revisi) जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें