Fünf(5) Part 3

35 1 2
                                    

Elle

Aku duduk diatas ranjangku bersama kamera milik Sandra, buku catatan kecil, dan MacBook yang baru menyala. Aku masih tak dapat memercayai apa yang terjadi siang tadi. Duduk berhadapan dengan lelaki yang selama ini telah begitu menyebalkan. Bahkan lebih dari sekadar itu, sesuai dengan tujuan utama aku harus mewawancarainya. Memberikan beberapa pertanyaan yang djawabnya dengan lugas dan senyum yang enggan Ia lepaskan.

Julian Arfello Brömmel.

Tanganku meraih kamera dan membuka file hasil bidikanku. Ternyata cukup banyak foto yang kuambil disela-sela wawancara dan pada foto-foto yang terakhir. Wajah Arfel yang terpampang disana. Aku mengamati satu foto yang kuambil saat ia sedang menoleh dan tersenyum. Menampilkan sepasang lesung pipit.

Aku mulai disinggahi rasa penasaran yang semula mati-matian tak kuladeni. Namun aku menyerah dan kini mengalihkan perhatianku pada MacBook. Membuka laman Google dan mengetikkan namanya disana. Detik berikutnya sederet informasi bermunculan. Lebih dari yang kuinginkan, tetapi aku tetap membacanya satu persatu.

Ia lahir di Berlin, dua puluh empat tahun yang lalu. Ayahnya seorang CEO sebuah perusahaan otomotif dan Ibunya adalah mantan Miss Germany. Semasa sekolah dasar ia tergabung dalam Hertha BSC Berlin dan berkarir disana hingga usia tigas belas tahun. Arfel remaja hijrah ke negeri kincir angin setelah resmi masuk Akademi Sepak Bola De Toekomst yang berada dibawah naungan klub Sepak Bola Ajax Amsterdam. Empat tahun kemudian bergabung dengan FC Ajax Junior dan dua tahun setelahnya memutuskan kembali ke Jerman dan menandatangani kontrak bersama FC Bayern. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, bersama klubnya ia berhasil meraih enam trofi kejuaraan dan salah satu diantaranya adalah trofi juara Liga Champions UEFA(38).

Tak hanya bersama klub, Arfel pun lolos kualifikasi dan bergabung bersama Tim Nasional Jerman pada Piala Dunia 2014 di Brazil. Dan setelahnya Arfel dinobatkan sebagai pemain muda terbaik dan mendapatkan penghargaan sepatu emas usai berhasil mencetak skor terbanyak.

"Ternyata ia sehebat itu?" Aku berceloteh sendiri.

Aku meneruskan membaca artikel-artikel yang lain. Kali ini mengenai kehidupan pribadinya. Seketika layar dihadapanku dipenuhi dengan foto foto mesra Arfel bersama banyak wanita.

Entah mengapa aku merasa terganggu dengan foto foto itu, yang lama kelamaan membuatku menutup MacBook dengan setengah jengkel. Kini pikiranku terbagi dua. Separuh mengatakan aku tidak perlu merasa terganggu dengan itu semua tetapi separuh lagi berlainan. Seolah mengiyakan rasa jengkel, kesal, dan tidak suka yang hadir begitu saja.

Aku menepuk-nepuk pipiku berusaha membuyarkan pikiran terakhir yang terlintas. Untuk apa aku merasa terganggu dengan identitasnya yang seorang playboy sejati dan puluhan foto-foto mesranya? Bukan urusanku dan sampai kapan pun aku tidak mau berurusan lagi dengannya.


ÎÎÎ


Arfel

Roseanne Laurent. Keponakan Coach Paul sekaligus model yang baru menyelesaikan pendidikan sekolah mode di Perancis. Seperti yang sudah-sudah, hubunganku dengan seorang gadis bermula dari diperkenalkan entah oleh teman, sahabat, kolega, dan sekarang bahkan dengan pelatih sendiri. Beberapa hari yang lalu, kami bertemu di arena pacuan kuda. Gadis itu rupanya senang berkuda.

Berbeda dengan gadis-gadis yang berkencan denganku sebelumnya. Anne bukanlah sosok yang pencemburu, materialistis, kelewat manja, atau egois. Tetapi jauh dari dasar hatiku, aku tahu bahwa hubungan ini tak bisa diteruskan. Dalam satu pembicaraan bersamanya aku langsung tahu apa yang menjadi alasan terbesarku.

"Kau memiliki kekasih?" tanyaku. Kami menunggangi kuda berjenis thoroughbred dengan tempo lambat. Milikku berwarna hitam sementara milik Anne berwarna putih.

"Tidak." Ia tersenyum singkat.

"Sampai kapan kau disini?"

"Dua minggu lagi aku sudah harus kembali ke Perancis."

Kami menyusuri jalan setapak yang berada diluar area untuk pacuan. Musim gugur kali ini membawa angin yang lebih dingin dan kencang dari biasanya.

Anne menoleh. "Kau percaya dengan adanya cinta sejati?"

Aku terdiam beberapa saat lalu ikut menoleh. "Tentu."

Ada senyum getir yang Anne berikan. "Tidak karena bagiku tidak ada yang namanya cinta sejati. Terlebih cinta. Itu adalah hal yang paling omong kosong di dunia ini."

"Kenapa begitu? Bukankah cinta adalah bagian dari kehidupan? Sejauh ini yang kutahu adalah tidak ada manusia yang bisa mengenyahkan cinta."

"Sekarang kau bisa melihat sendiri bagaimana seseorang yang tidak ingin hidupnya memiliki cinta. Apa kau tidak merasa bahwa cinta hanyalah bualan? Layaknya dongeng pengantar tidur yang indah tetapi setelahnya kau tidak merasakan apa-apa. Cinta hanya akan menyakiti Ar awalnya kau dibuat bahagia dan selanjutnya kau akan dibuat porak-poranda."

Aku mulai tak mengerti arah pembicaraan Anne. Ia seolah mengutarakan kegusaran akan topik yang tengah kami debatkan.

"Kau memiliki alasan yang kuat atas pernyataanmu?" balasku

Anne menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya. "Bukankah benda ini seharusnya menjadi bukti akan kekuatan cinta sepasang kekasih yang berjanji untuk hidup bersama? Tetapi kenyataannya tidak begitu Ar." Matanya berkaca-kaca.

"Lelaki itu pergi tepat satu hari sebelum pernikahan kami. Tanpa mengatakan selamat tinggal, tanpa pelukan hangat, dan tanpa menciumku. Ia pergi begitu saja dan meninggalkan kenangan yang membuat hatiku tersayat tiap kali mengingatnya."

"Apa yang membuatnya meninggalkanmu?" tanyaku yang telah dikuasai rasa penasaran.

Anne menghela napas dalam-dalam. Mungkin baginya, menjawab pertanyaanku bagaikan mencabut duri yang telah tertanam lama. "Ia mencintai perempuan lain."

Jawabannya mampu mentransfer kesedihan yang Ia rasakan. Laki-laki yang menyakiti Anne itu masih ada di dunia ini, tetapi keberadaannya seolah mati. Aku pun pernah kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Sesuatu yang tidak akan pernah kembali dan tidak akan pernah terganti. Aku tahu bagaimana rasanya harus melepaskan dan menerima dalam waktu yang bersamaan. Kurasa tanpa perlu ia bercerita lebih jauh, semuanya sudah tampak jelas. Anne yang dari luar layaknya seperti gadis-gadis pada umumnya nyatanya menyimpan trauma. Ungkapan yang pada mulanya ia sampaikan bukanlah cerminan perasaan yang sebenarnya. Layaknya bumerang. Semakin sering ungkapan itu terlontar pada akhirnya ungkapan itu akan kembali lagi dan membuatnya semakin terluka.

Aku mengelus bahunya, berusaha menenangkannya meski entah hal ini akan berpengaruh atau tidak. Ia menoleh padaku dan tersenyum pahit. "Terima kasih."

Aku hanya mengangguk dan membalas senyum pahitnya. Anne menaiki kudanya dan sebelum berlalu ia berkata. "Kau lelaki yang baik Ar, percayalah suatu hari nanti kau akan memiliki seseorang yang istimewa." detik berikutnya, Anne telah memacu kudanya menjauh hingga menjadi titik kecil dan tidak terlihat lagi.

Sejujurnya aku tidak paham dengan makna 'istimewa' yang dikatakan Anne. Hanya saja pada saat yang bersamaan ada sosok yang tiba-tiba muncul di benakku. Gadis berambut hazelnut yang parasnya memiliki perpaduan mongoloid dan kaukasoid.

ÎÎÎ


_______________

38 Liga Champions UEFA: Kejuaraan antarklub Sepak Bola tahunan antara klub-klub Sepak Bola tersukses di Eropa, dan sering dianggap sebagai trofi tingkat klub yang paling prestisius di Eropa.


ÎÎÎ

Hai, namaku Riska

Terima kasih banyak ya sudah membaca chapter ini. Silakan beri komentar, kritik, dan saran (in a positive way) supaya aku bisa menulis dengan lebih baik lagi. Jangan lupa vote & share kalau kamu suka dengan cerita ini ya. So let's be friends! :))


Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Mar 20, 2019 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

DITERBITKAN DALAM VERSI E-BOOK OLEH BHUANA ILMU POPULER Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu