Pasangan

7.5K 931 76
                                    

GAIL

Aku tersenyum lega karena berhasil membawa Abby pulang—bukan ke rumahnya tapi ke apartemenku.

"Jangan mencoba kabur!" aku memperingatkan Abby saat aku menurunkannya di sofa.

"Atau apa?!" bantahnya sambil berdiri.

"Coba saja dan lihat apa yang akan aku lakukan..." kataku penuh penekanan. Aku tidak bermaksud mengancamnya, aku hanya ingin membuatnya tahu bahwa aku serius saat mengatakan soal aku dan dia akan menikah.

"Ini—" dia terlihat kesal dan menghentakkan kedua kakinya lalu kembali duduk di sofa.

Abby memejamkan matanya sembari menggigit bibirnya. Dia benar-benar terlihat lucu dan menggemaskan. Tak ada satu hal pun yang berubah darinya kecuali dia melupakanku—tapi tidak sejak semalam.

"Dasar tukang selingkuh!" serunya kesal begitu ia membuka mata dan anehnya bukannya marah aku dituduh selingkuh tapi aku tersenyum.

"Jadi, kamu nggak mau putus karena Elen akan menikah lagi begitu? Jadi aku hanya cad—"

"Aku tidak peduli dengan Elen. Yang aku pedulikan adalah dirimu!" kataku sambil berkacak pinggang.

"Oh, ya?" Abby terlihat tidak percaya. Dia membuang wajahnya ke tempat lain lalu detik selanjutnya kembali menatapku.

"Aku akan bertanggung jawab. Meskipun kelak kita tidak bisa punya anak sekalipun, aku tidak akan meninggalkanmu..." hatiku terasa sakit mengingat ucapan Arion waktu itu.

"Jadi Elen menceraikanmu karena kamu nggak bisa punya anak?" aku mengerutkan kedua alisku mendengar pertanyaan Abby. Apakah tidak ada seorang pun yang memberitahukan kalau Abby tidak akan bisa punya anak?

"Ok, itu poin utama yang harus aku tolak! Aku ingin punya anak banyak dari pernikahanku. Jadi aku menolakmu!" katanya lalu memalingkan wajahnya.

"Alasan itu pasti akan kamu jadikan alasan untuk berselingkuh!" tuduhnya lagi.

"Aku tidak akan selingkuh..." aku mendekat pada Abby dan duduk di sebelahnya. Dia menggeser duduknya hingga ke ujung sofa dan tentu saja itu memudahkanku untuk merapat padanya.

"Gombal! Tukang bohong! Tukang selingkuh!" protesnya kesal sambil melotot padaku.

Mau tak mau sudut bibirku tertarik ke atas. Ini sepertinya pertengkaran kami yang pertama setelah sekian lama. Dulu, saat pertama kali kami bertengkar hanya karena aku dan A berkelahi memukuli seorang bocah laki-laki yang berani-beraninya mengirimkan surat cinta pada Abby.

"Awas kalau mendekat!" dia mengingatkan.

"Aku mau menikah dengan pria normal dan sehat! Bukan pria yang tidak bisa memberikan keturunan! Aku tidak mau kesepian!"

Ok, kesepian. Itulah alasan kami dulu ketika bertengkar. Selalu di kelilingi kakak-kakaknya dan juga banyak orang tentu akan sangat kesepian jika sendirian.

"Aku normal! Aku—"

"Jadi maksudmu aku tidak normal!" bantahnya kesal sambil melotot padaku.

Aku mendesah panjang, bagaimana caranya aku menjelaskan tanpa aku melukainya?

"Abby—" aku menggigit bibirku sejenak, kembali menimbang apa yang akan aku ucapkan. "—kau tidak akan bisa punya anak. Tapi aku akan menerimanya..." kutatap matanya yang berkedip seperti gerakan lambat dan bibirnya yang terbuka. Detik selanjutnya dia membuang pandangannya dan tertawa.

"Apa yang lucu?" tanyaku karena Abby tertawa.

"Siapa yang mengatakan? A? Kee? atau El?" tanyanya ketika pandangannya kembali menusukku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 13, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Like ButterflyWhere stories live. Discover now