[1] : Tantangan

774 37 13
                                    

Namanya Anggara Faliyandi. Tingginya 175 senti. Beratnya 55 kg. Bergolongan darah O. Info itu didapat dari biodata singkat yang dipasang di mading kelas. Rambut dan mata cowok itu agak coklat. Kata orang-orang, anaknya baik, ramah, dan pinter. Tapi Lio enggak tahu. Dia baru dengar-dengar aja dari temannya. Makanya, pagi ini, dia semangat banget berangkat sekolah.

Sialan memang. Saat waktunya berangkat sekolah, Lio malah kena cacar air. Kulitnya jadi tutul-tutul kayak macam tutul. Tapi, setelah satu minggu penuh Lio enggak menyentuh air alias enggak mandi, cacar itu akhirnya enyah juga dari tubuhnya. Ya walaupun masih ada bekasnya sih, tapi kan itu lebih baik ketimbang ia kena cacar seumur hidup. Ih! Amit-amit.

Lio berangkat bareng kakaknya yang juga jadi guru BK di SMA Libra, sekolahnya saat ini. Satu kelas dengan yang namanya Anggara, cowok yang jadi most-wanted-guy di angkatannya. Kabar yang lebih bagus lagi adalah, Anggara inilah yang bakal jadi teman sebangkunya.

Yes! Sebangku sama cogan. Dibalik kesakitan ada keindahan, emang.

Lio ke kelasnya sambil berjalan cepat. Lumayan, buat olahraga juga. Apalagi, kelasnya terletak di lantai dua. Abisnya kalau jalan santai ia malu. Sesampainya di kelas, napasnya langsung tersengal. Peluhnya menetes banyak, membuat seragam barunya yang sudah wangi kini bercampur dengan keringat. Kedua pandangannya langsung menyisir isi kelas, mencari mana kira-kira cowok yang paling ganteng di kelas dan memenuhi syarat sebagai Anggara. Ternyata ada, duduknya di bangku paling pojok belakang sayap kiri. Posisi yang pas banget buat tidur.

Lio langsung menyengir sumringah. Memamerkan sederan giginya yang tertata rapi dan putih. Membentuk dua buah lesung di kanan-kiri bibirnya. Selain menemukan cowok yang diduga sebagai Anggara, ia juga menemukan sahabatnya.

“Andin!” teriak Lio nyaring, tepat di tengah-tengah kelas. Membuat semua kepala tertoleh padanya, termasuk cowok ganteng yang ia duga sebagai Anggara. Sementara yang merasa namanya terpanggil langsung jejingkrakan senang. Berlari menghampiri Lio dan memeluknya erat.

“Huah, lo berangkat kok nggak bilang-bilang sih?! Kan kita bisa berangkat bareng!” Ujar Andin dengan ekspresi yang menggemaskan. Mata sipit, kulit kuning langsat, rambut lurus sebahu, badan mungil, dan senyum yang menawan. Untuk tahun ini, Andin yang mendapat gelar ratu di angkatan mereka. Jadi, raja dan ratunya ada di kelasnya semua.

“Lo lupa ya, kakak gue juga ngajar di sini kali. Kakak pasti nggak ngizinin lah. Kecuali kalo lo yang nebeng.” Lio mulai berjalan. Ia melirik sekilas pada Andin, menanyakan apakah benar bangkunya di sana dengan kode. Pertanyaan ith dibalas dengan kerlingan dari Andin.

Oke, fix. Lio memang beruntung.

Semakin mendekat, jantung Lio terasa semakin bergemuruh. Grogi. Selain karena cowok itu cakep, ini tahun pertamanya di bangku SMA.

Sialan. Kok cakep banget gini sih? Perasaan waktu foto yang Andin kirim kemaren biasa doang deh.

Lio tersenyum canggung pada cowok itu. Mati gaya. Lio bingung harus ngomong apa duluan. Atau langsung duduk aja kali, ya? Tapi kan...

“Angga, ini Lio. Yang jadi temen sebangku lo.” Sekonyong-konyong saja, Andin menyeruak di antara kebimbangan Lio yang akan menyapa duluan. Andin duduk di depan Angga dengan santainya, seolah-olah ia hanya berhadapan pada manusia yang kadar gantengnya pas-pasan. Aduh, dalam hal ini, Lio memang sering berlebihan.

Lio menghempaskan badannya ke bangku dengan kaku. Seolah-olah tulangnya terbuat dari besi yang memiliki sedikit kelenturan.

“Baik-baik ya sama dia. Baru sembuh dari sakit loh,” katanya tanpa tersendat sedikit pun. Sehabis berkata seperti itu, Andin kembali ke bangkunya semula. Meninggalkan Lio dan Angga berduaan dalam keheningan.

Lio berdeham. Menoleh. Lalu tersenyum. Dan tidak dibalas dengan apa pun. Sebal.

“Ih! Cakep-cakep kok kayak papan triplek!” gerutu Lio setelahnya. Menjatuhkan buku tulis yang baru diambilnya dari tas ke atas meja hingga menimbulkan bunyi yang harusnya cukup menarik perhatian Anggara. Dengan sudut matanya, Lio tau bahwa Andin tengah menahan tawanya saat ini.

“Sapa? Gue?” sahut suara di sebelahnya. Membuat Lio lekas menoleh.

Ia mengerucutkan bibir, menjadikannya tambah imut sedikit. “Bukan kok. Lagi ngomong sama tembok, ini.” sekenanya Lio menjawab.

“Kenapa gue bisa sebangku sama cewek absurd kayak lo, sih?” cowok bernama Anggara itu mendesah, agak berlebihan. Baru kali ini Lio melihat ada cowok yang suka mendramatisir keadaan, orangnya ganteng pula. Kali ini, Lio sedang malas untuk menanggapi sindiran dari Anggara. Biar impas. Tadi, cowok itu juga mengabaikan senyum tulusnya.

==

“Jadi, gimana?” tanya Andin setelah menjejeri langkah lebar Lio yang barusaja keluar dari kelas. Saatnya pulang sekolah. Lorong-lorong di sekolahnya jadi penuh sesak setelah banyaknya ratusan manusia yang dikumpulkan jadi satu dan saling berebutan agar bisa pulang duluan.

Lio mengernyitkan keningnya. “Gimana?” ulangnya. “Apanya? Gue nggak maksud.”

“Angga. Baik banget kan dia?”

Lio mengangguk dua kali. Masih cuek-cuek saja. Kemudian, cemberut maksimal. “Jauh dari kata baik. Dia tuh nyebelin akut! Tapi ya, cakep sih.”

“Dia baik kok sama gue.” Pamer Andin sambil menyibak rambut a la model shampoo. Lio menatapnya judes, sambil mencibir.

“Hih! Apaan? Orang tadi pagi dia aja datar banget waktu lo ngomong!” protesnya, tidak terima. Andin merespon dengan bibir mengerucut masam. Mereka berdua kemudian berbelok ke arah kanan, menuruni tangga.

“Saingan buat dapetin dia, mau enggak?” celetuk Andin tiba-tiba, dengan cengiran lebarnya. Wajahnya sumringah, seperti baru menemukan sesuatu yang begitu hebat di abad ini. Efeknya, Lio nyaris terjatuh dari tangga karena tersandung dengan kakinya sendiri. Untung, tangannya cepat meraih pembatas tangga dan berpegangan erat-erat.

Andin menahan napas kaget, “Lo kenapa sih?!” di belakang mereka, semua anak ikut memekik tertahan, berhenti mendadak sambil menjulurkan leher mirip jerapah untuk melihat apa yang terjadi. Rasa-rasanya, muka Lio udah enggak kalah bedanya dengan kulit kepiting rebus. Malu dan deg-degan karena takut jatuh campur jadi satu. Lio segera mengubah posisi berdirinya yang sama sekali enggak elit itu. Ia mengatur napasnya agar lebih teratur, meminta maaf ke sekeliling kemudian menarik tangan Andin agar segera turun. Kemudian masuk ke dalam toilet dan berhenti di dekat pintu.

“Lo ngomong apa barusan?!” tanya Lio, setengah menjerit. Andin bengong sebentar, enggak ngerti apa maksudnya Lio. “Ituuu, tadi lo bikin... what? Kita jadi lawan buat seorang Angga?”

“Hah? Oo-oh! Iya! Jadi, gimana?” Andin langsung berubah jadi sumringah, satu alisnya terangkat. Lio geleng-geleng kepala, mungkin enggak menyangka.

Ragu, Lio bertanya, “Lo..., bercanda kan?” melihat Andin yang  hanya mengedikkan kedua bahunya santai dengan wajah sumringah seperti itu membuatnya berspekulasi bahwa itu suatu candaan. Sebenarnya, Lio bisa menolak tantangan gila dari Andin saat ini juga. Tapi, entah kenapa, kepala Lio terangguk mantap sambil mengulurkan telapak tangannya. Meminta untuk bersalaman.

“Oke,” Andin tersenyum lebar, menjabat tangannya. “Deal!”

Satu detik setelah jabatan tangan itu terlepas, Lio tersadar akan segala kebodohan yang telah ia lakukan. Ia dan Andin telah menjadi lawan, walau bukan berarti hubungan kawan mereka akan terputus. Eung, lagi pula, ini hanya candaan dua orang cewek yang kebetulan bertemu dengan cowok ganteng dan jadi teman sekelas mereka kan?

“Yuk! Pulang. Besok, semuanya dimulai.” Ajak Andin sambil menyeret tangan Lio keluar toilet, membuyarkan semua lamunan yang ia miliki saat ini. “Lo pulang sama kakak lo?”

Lio berdeham. Mengangguk. Kemudian menjawab, “Iya.” Entah untuk menjawab perkataan Andin yang mana. Bisajadi yang kedua, tapi bisajadi juga yang pertama.

Lio linglung hari ini. Begitu juga seterusnya.

===

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 29, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MalionaWhere stories live. Discover now