Chapter 19 : Aku Nggak Ingin Jadi Beban Untukmu

Mulai dari awal
                                    

"Aku bawa juga kok. Kamu nggak perlu repot..."

"Sebenarnya aku juga mau menyuruhmu merawat lukamu sendiri, tapi aku ragu dalam kondisi sekarang, mungkin saja kamu akan membuat kesalahan dan kita berakhir lebih tragis lagi disini."

"Aku seniormu di pramuka, aku bisa sendiri kok."

"Senior atau junior nggak diperhitungkan disini. Tapi mentalmu."

Dia memahamiku lebih dari lelaki sebaya manapun. Itu salah satu poin yang kusuka darinya. Dia selalu dapat diandalkan. Tapi ....

"Aku nggak ingin jadi beban untukmu. Aku ingin membuktikan padamu, bahwa aku pantas menjadi pacarmu, Christ."

Dia menatapku sekilas kemudian membersihkan lukaku dengan alkohol dan menempelkan plester di atasnya.

"Jangan banyak bicara. Kita pergi sekarang. Waktu nggak akan menunggu kita."

Adegan yang kupikir akan romantis, malah berakhir dengan idealismenya akan waktu.

"Oke... oke... tuan waktu adalah uang."

Kakiku terasa sakit digerakkan ketika aku berdiri dan mulai berjalan. Tidak sadar aku meringis sehingga Christ menoleh dan memandangi kakiku.

"Masih bisa jalan?"

"Sedikit. Bisa, tapi pelan-pelan."

Dia menghela napas sambil berkacak pinggang. "Kalau begitu, naik di punggungku sekarang."

"Aku berat." Oke, aku bukan ingin menggombal seperti yang Dilan lakukan pada Milea, apalagi di saat seperti ini. Fakta bahwa bulan ini aku naik 2 kilo.

Christ tidak ingin mendengar alasan dengan gerakannya berjongkok di depanku sambil menghadap ke depan.

"Kamu yakin? Aku masih bisa jalan kok."

"Iya, masih bisa jalan, sampainya udah siang diatas. Kamu mau melewatkan sunrise?"

Aku menggeleng lemah, tapi sadar dia tidak dapat melihatnya, aku membalasnya, "Nggak."

"Ya sudah jangan bawel. Aku pegal begini terus."

Akhirnya aku menjulurkan tangan dan merangkul lehernya. Dengan sigap, Christ mengangkatku di punggungnya.

"Maaf ya, aku terlalu merepotkanmu."

"Kamu lebih berat kalau banyak bicara," keluhnya.

Malam itu diterangi sinar bulan, kami berjalan pelan-pelan. Kacamata yang dikenakan Christ jatuh ketika dia berusaha menghalau semak tinggi di depan kami. Dan dia menginjaknya.

"Oh ya ampun..." keluhnya samar. Dia memungut benda itu, yang kini tidak memiliki lensa lagi, dan meletakkannya dalam kantung celana.

"Masih bisa melihat? Disana ada pohon tinggi lagi. Ada jurang di dekat situ..."

Christ menyudahi kata-kataku yang menggantung.

"Aku tahu."

Ya, dia berjalan dengan lebih baik sekarang tidak seperti tadi.

"Kenapa jalanmu sekarang lebih cepat?" tanyaku heran.

"Tadi aku berkeringat dan kacamatanya jadi licin. Sedikit-sedikit aku harus menggerakkan kacamataku agar tetap di hidung."

"Bukan begitu. Matamu bukannya lebih kabur sekarang?"

Dia mendesah. "Justru tanpa itu aku bisa bergerak dengan lebih leluasa."

Aku diam dengan pikiran yang masih mengganjal.

"Mataku nggak rabun. Jadi kamu nggak perlu takut kita akan jatuh di jurang."

Yes, Dating Only For 5 Months!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang