Chapter 19 : Aku Nggak Ingin Jadi Beban Untukmu

26 1 0
                                    

Kami berdiri sesuai kelompok dan berdoa bersama. Salah satu pemuda sekretariat tadi sempat memberitahukan bahwa perjalanan kami akan memakan waktu sekitar tujuh sampai delapan jam. Sepanjang jalan terdapat semak ilalang yang tidak terlalu tinggi dan pohon yang berdiri berjauh-jauhan.

Menuju pos kedua memakan waktu lebih lama dari entry point ke pos pertama. Jalurnya juga membutuhkan teknik scrambling alias bantuan tangan. Pos ketiga jaraknya lebih jauh lagi. Sedangkan menuju pos empat hanya setengah jam lebih.

Pos kelima merupakan daerah yang datar dan agak sedikit terbuka. Kami sempat beristirahat sekaligus makan malam sekitar lima puluh menit beralaskan matras, karena menuju pos enam butuh tenaga lebih. Benar saja, track-nya dihiasi ilalang dan pohon yang dipenuhi lumut.

Lalu ada tanjakan yang hampir mencapai empat puluh lima derajat. Tidak hanya kaki tetapi juga tangan untuk merayap dengan meraih akar dan batu di sepanjang jalur ini. Kemudian kami melewati jalanan berbatu besar dengan suhu yang makin terasa dingin.

Normalnya, butuh dua jam lebih untuk sampai disana. Tapi kami sampai sekitar jam sebelas lewat, hampir tengah malam. Kenapa begitu? Karena aku dan Christ tertinggal dari kelompok!

Ini karena setelah tanjakan yang disebut-sebut sebagai 'tanjakan helikopter' itu, rambutku tersangkut akar ketika mencoba meraih senter yang jatuh terguling-guling ke jurang dari tanganku yang licin. Ada ular yang mengagetkanku sebelumnya. Hewan melata itu bergerak mendekat sehingga membuatku panik. Ilmu pramuka sungguh sulit kuterapkan di kondisi ekstrem seperti ini. Kepala Christ muncul dari atas, berikut tangannya yang berusaha menarik lenganku.

"Rambutku, jepitannya nyangkut," desahku.

"Pegang lilin ini, ulur waktu supaya dia nggak mendekat."

Christ mencoba membantu melepas rambutku dari akar yang berlumut itu, tapi sulit. Dia mendesah beberapa kali, mencoba lagi namun gagal.

"Nggak ada waktu lagi. Lebih baik begini."

Dengan cepat, tanpa bisa kucegah, Christ memotong bagian yang tersangkut itu dengan pisau lipat dari sakunya. Melempar dengan asal apa yang telah dipotongnya tadi. Bunyi gemeresik menjauh ke arah jurang.

"Jepitanku..."

Tanpa bicara apapun, Christ menarikku keatas dan menggenggam tanganku dengan erat, berjalan dengan terburu-buru memecah kesunyian. Lilin yang kupegang tertiup angin dan kami berlari jauh dalam kegelapan yang disinari senter remang milik Christ.

Agak jauh dari tempat itu, kami terengah-engah dan Christ mengajak duduk sebentar, bersandar pada pohon pendek berlumut dengan ilalang tinggi disampingnya. Entah mungkin karena dorongan hormon mendekati datangnya tamu bulanan, ditambah rasa shock akibat kejadian tadi, dengan mudahnya aku menangis lagi di depan Christ.

"Itu jepitan yang sangat berharga untukku. Pasangannya hilang ketika aku masih kecil. Mungkin karena hujan deras aku sulit menemukannya. Itu hadiah dari mama karena PR matematikaku dapat seratus. Sesuatu yang jarang kudapatkan dan mama sangat bangga. Setiap melihat jepit itu, aku teringat akan senyumnya yang begitu bahagia karena memiliki aku sebagai anaknya."

"Setidaknya dia selalu ada untukmu. Jadi tanpa melihat jepit itu, kamu tetap akan puas memandanginya," komentar Christ.

"Aku punya kebiasaan menyimpan suatu barang dengan kenangan manis di dalamnya. Karena itu aku sangat menyesal jepitannya hilang."

Dia mengangguk, tak berniat membantah atau meledekku. Aku menatapnya, sejenak ragu. "Aku juga menyimpan plester luka dan boneka boks darimu."

Christ memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Tiba-tiba dia bergerak mencari sesuatu dari dalam tas ranselnya. Ternyata sekotak plester luka dan sebotol alkohol. Dia menarik kakiku ke arahnya, mengangkat celana leggingku -yang robek tak beraturan namun tidak banyak- hingga batas betis.

Yes, Dating Only For 5 Months!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang