Tak ada sahutan dari dalam, Gigi kembali mengetuk, tapi sama saja. Nekat, Gigi membuka perlahan, dia mengintip dari celah pintu, matanya memindai seluruh ruangan, Haga tak terlihat di sudut mana pun.

"Pak, Pak Haga," panggil Gigi membuka pintu lebih lebar. Dia melangkah masuk, berdiri di tengah ruangan dengan kening berkerut dan perasaan luar biasa kesal. "Pak Haga!"

Gemas, Gigi mengangkat ponsel di genggaman, dia menghubungi nomor Haga. Panggilan pertama tak di angkat, Gigi mencoba lagi.

"Pak, saya sudah di atas, tapi saya tidak menemukan Bapak di mana pun," kata Gigi begitu panggilannya di angkat.

"Kapan saya bilang saya ada di atas."

"Lalu Bapak di mana? Bukannya Bapak meminta saya ke ruangan Bapak?" Gigi bertanya kebingungan. Dia sudah berjuang keras berlari menaiki anak tanggah.

"Itu benar. Saya berada di Lacaffe."

"Apa?!" Gigi tak bisa menahan suaranya. Dia kesal bukan main sekarang, Lacaffe ada di lobi, berarti tadi Haga melihatnya di sana juga, kan?

"Kamu bentak saya?!"

"Maaf Pak, bukan maksud saya membentak Bapak," kata Gigi panik dan juga kesal.

"Lupakan. Ambil kotak biru di meja saya dan musnahkah."

Gigi mengangguk, meski tak ada Haga di dekatnya. "Baik, Pak." Gigi menurunkan ponsel dari telinga, kakinya melangkah maju dan mengambil kota yang dimaksud Haga.

"Ais... gara-gara kado dari mantan, aku yang harus capek." Dengus Gigi kesal.

Apa salahnya sih menerima kado dari mantan?

Kenapa harus di buang, tidak bisakah Haga menghargai jerih payah mantanya, yang sudah membelikan kado mahal seperti ini.

"Gigi!"

"Saya Pak." Gigi berbalik, dia terkejut melihat Haga berdiri di depan pintu. Bukankah Haga bilang berada di lacaffe, kenapa sekarang bisa sampai sini?

"Kenapa kamu masih di sini? Dan kenapa benda itu belum kamu buang?" Haga menatap Gigi tajam.

"Maaf Pak. Saya akan segera membuang ini, hingga lenyap dari permukaan bumi," kata Gigi menahan kesal.

Haga mengangguk, dia melangkah ke kursinya. "Dan satu lagi." Gigi tak jadi melangkah meninggalkan ruangan Haga. "Perbaiki riasanmu, kamu terlihat sangat berantakan."

Gigi melotot, kedua tangannya terkepal. "Baik, Pak." Dia langsung melengos meninggalkan ruangan Haga dengan kekesalan menggunung.

Tiba di luar ruangan Haga, Gigi jatuh terduduk di depan pintu. Kakinya sudah tak sanggup lagi menahan bobot tubuh, dia juga tak punya tenaga untuk berjalan ke kursinya.

Gigi meringis merasakan pegal di betisnya, membuka high heels dia semakin meringis melihat lecet di kaki. Gigi sempat terjatuh tadi, dua kali hampir ketiga namun yang terakhir dia bisa menahan dengan kedua tangan.

"Bos, sialan." Desis Gigi meniup lutut dan kakinya yang lecet. Gigi duduk lebih dari lima menit di depan ruangan  Haga, setelah merasa sedikit baik Gigi bangkit membawa serta kota yang harus dia musnahkan.

Gigi membuka kotak di hadapannya, dia tertawa melihat dasi merah berharga puluhan juta yang harus dimusnahkan sekarang juga. 'Haga gila.' 

Jika Daniel di beri hadiah seperti ini, pasti lelaki itu akan sangat bahagia.

Bagaimana ya, apa dasi ini boleh dia simpan agar bisa  diberikan untuk Daniel?

Gigi menggeleng teringat sesuatu, dia tidak bisa menyimpan dasi ini. Karena jika Haga mengatakan buang, berarti dia harus memusnahkannya sampai Haga tak bisa melihatnya lagi. 

Mengangguk, Gigi tersenyum, dia mengambil gunting dan mulai memotong dasi Haga dengan semangat. Seolah dia tengah memotong-motong Haga yang sangat menyebalkan.

"Mbak Gigi kenapa dasinya di potong?" Suara tanya dari depan membuat Gigi mendongak, dia tersenyum melihat Pak Rahmat, seorang OB yang sudah bekerja puluhan tahun di perusahaan ini. "Padahal dasinya bagus, kelihatannya mahal lagi."

Gigi tertawa. "Saya lagi nyidam Pak," kata Gigi kembali tersenyum melihat kening Pak Rahmat berkerut. "Nyidam rusaki dasi mahal. Apa lagi ini dasi Pak Haga, beuhh... semangat kali anak saya." Gigi semakin semangat mengunting dasi di tangan. Potongan-potongan kecil dasi sudah berserakan di  meja.

Kening Pak Rahmat, semakin berkerut. "Oh. Kalau begitu saya permisi Mbak, mau mengantar ini." Gigi mengangguk dan membiarkan Pak Rahmat memasuki ruangan Haga dengan kopi di tangannya.

    ******

Pukul 7 malam, Gigi belum juga diizinkan pulang, dia malah diberi pekerjaan tambahan. Benar-benar gagal sudah rencana Gigi pergi bersama teman-temanya.

Sebenarnya Gigi sudah menduga ini akan terjadi, tapi dia tetap merasa kesal jika mengingat kekejaman Haga siang tadi. Dia ingin kabur, ingin pergi jauh dari kantor ini barang sebentar saja. Gigi sedang tidak ingin melihat wajah Haga.

"Ke ruangan saya sekarang." Perintah dari Haga membuat Gigi cemberut. Dia bangkit, berjalan dengan kaki mengentak kesal. Lalu berhenti dan mengetuk pintu.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Gigi tersenyum ramah, dia berdiri di hadapan Haga dengan sikap patuh.

"Duduk."

Menurut, Gigi menarik kursi di hadapan Haga dan duduk di sana. Mereka kini saling tatap, hanya terpisah meja kerja.

"Lihat ini." Haga menyerahkan berkas  pada Gigi. "Bagaimana menurutmu?"

Gigi belum menjawab, dia masih meneliti berkas yang di terimanya. "Ada kejanggalan di laporan keuangan ini, Pak."

Haga mengangguk setuju, dia mengendurkan dasi. "Besok. Panggil divisi keuangan ke ruang rapat."

"Baik, Pak." Gigi langsung mencatat apa yang di katakan Haga. Lalu mendongak saat melihat Haga bangkit.

"Ayo," ajak Haga menatap Gigi sekilas.

Mengerutkan kening, Gigi ikut bangkit. "Pulang, Pak?" tanya Gigi.

Haga tak mengatakan apa pun, dia melangkah menjauh. Membuat Gigi terpaksa mempercepat langkah guna membukakan pintu untuk Haga.

Mengambil tasnya, Gigi kembali mengejar langkah Haga.

"Kita akan ke mana, Pak?" Gigi kembali mengulang pertanyaan setelah satu jam perjalanan, mobil yang dinaikinya tak juga berhenti.

Baru satu jam terlewat lagi, mobil yang mereka naiki berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya modern.

Melihat Haga turun, Gigi mengikutinya meski ribuan pertanyaan bersarang di kepala.

"Apa Bapak ingin menemui rekan bisnis di sini?" tanya Gigi mengedarkan pandangan. Banyak terparkir mobil mewah.

"Iya. Kamu ikut saya ke dalam." Gigi mengangguk, dia sudah sampai kemari tentu saja dia harus menemani. Padahal dia sudah sangat lelah dan juga mengantuk.







Huaa.... aku lagi bete 😢
Mau nulis Gaun Pengantin enggak bisa-bisa. Malah Haga aja yang kebayang 😭😭

Kesellll 😡😡😡








Haga & Gigi Onde histórias criam vida. Descubra agora