15

3.9K 178 37
                                    

Angin hutan semakin membuat gelisah. Malam kemudian menggantikan sore. Pepohonan yang tinggi itu seolah membisikkan nyanyian akan ada teror baru. Perihal kalung cakar harimau yang ditemukan Kusno saat perjalanan menuju pemakaman, membuat pertanyaan baru, apakah ini kalung milik Dandi?

Kusno mengejar Yan. Ia memanggil dari kejauhan. Suaranya hampir redam sempurna oleh padatnya hutan. Meskipun suasana hampir hening, sepertinya Yan tidak mendengar suara Kusno. Kusno mempercepat langkahnya. Akan tetapi, badannya tiba-tiba terasa berat. Sesuatu seperti menunggangi pundaknya. Kusno melihat ke atas dan tidak menemukan apa-apa. Seketika kepalanya yang menengadah itu, langkahnya menjadi sedikit kaku. Sesuatu yang tak kasat mata memegangi kaki Kusno dari belakang. Ia berteriak, Yan! Sekali lagi.

Yan mendengar sedikit suara sayup itu yang kemudian menghentikan langkah dan menoleh ke arah Kusno yang berada di belakangnya.

"Yan!" panggil Kusno.

Yan terkesiap melihat kawannya merangkak tak karuan. Tubuh lelaki berbadan besar itu hampir bersetubuh dengan tanah. Ia melihat seolah Kusno sedang memikul benda yang sangat berat di pundaknya.

"Tolong aku!"

"Kamu kenapa, Le?"

"Tubuhku sulit bergerak!"

Di saat yang bersamaan, Ubed dan Ridwan berteriak histeris, disusul dengan suara benda jatuh ke tanah. Pecahnya suara itu menyerupai besi-besi yang dilempar sengaja oleh seseorang. 

Yan dengan kesulitan yang tak masuk akal membantu Kusno berdiri. Ia merangkul tubuh Kusno seperti biasa. Kemudian dengan bantuan senter yang menembus kegelapan, ia menemukan Ubed dan Ridwan sedang berlari ke arah Yan sambil menahan nafas dalam kengerian.

Yan menjadi bingung, ada apa ini?

"Ke―kerandanya!"

"Ada apa dengan kerandanya, Bed!" pekik Yan.

"Tiba-tiba be―berat, Pak! Kami tak kuat memanggulnya. Kami buang..." kata Ubed sambil geleng-geleng. Mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara bahwa keranda itu tiba-tiba ada yang menaikinya.

"Maksudmu apa, Le?"

"Sumpah, Pak. Aku sudah tidak enak dari tadi. Jenazah itu ga' semestinya dikubur di Pacung," ujar Ridwan yang sudah bertopang lutut tak mampu melihat hal diluar nalar itu. "A―aku melihatnya sepintas tadi, karena aku dibelakang Ubed. Dan tak salah lagi.... aku yakin. Sangat yakin!"

Tak ada penerangan yang memadai di tengah hutan seperti ini. Satu-satunya cara adalah mendekatkan jarak pandang ke arah benda yang disebut keranda jatuh itu dengan bantuan lampu-lampu senter.

Yan tak mungkin percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sebongkah tubuh―yang diselimuti kafan carut-marut dan berlumur tanah merah seolah tubuh itu merangkak naik dari dalam tanah―bersemayam di sana. Keranda itu benar-benar ada isinya.

Kebun KentangWhere stories live. Discover now