2

8.7K 512 35
                                    


Mata Dandi terbelalak dengan keringat yang membasahi sekujur punggungnya. Nafasnya tersenggal-senggal dengan pandangan kosong. Tersadar kemudian bahwa dirinya masih di rumah malam itu. Diusap dahinya yang basah itu lalu ia mengambil segelas air minum. Ia baru saja bermimpi menyeramkan.

Dalam mimpi itu ia berjalan sendirian di sebuah hutan yang gelap gulita. Tak ada penerangan sama sekali. Langit terlalu gelap untuk cuaca yang normal. Sesekali gagak bertengger di pepohonan yang rimbun dengan suara yang parau. Seseorang tiba-tiba berdiri di antara kegelapan. Dandi mendekatinya. Ketika mendekati orang itu, tubuhnya terasa diam. Berusaha berlari mencoba meraihnya namun tak sampai juga. Hingga akhirnya sosok itu menghilang misterius dan berubah menjadi sesuatu yang tak masuk akal. Tubuhnya kekar dan besar seperti binatang pemakan daging. Matanya merah menyala. Makhluk itu merangkak menujunya. Tubuh Dandi masih tak mampu bergerak sekalipun ia berkeringat. Makhluk itu berdiri dengan posisi siap menerkam. Kemudian Dandi terbangun menyudahi mimpinya.

Disaat suara jangkrik menderasi siluet sepi yang akut, ia segera melipat selimut dan beranjak dari dipan. Dandi melihat istrinya masih meringkuk tenang di ranjang sambil memeluk anak perempuannya yang masih sembilan bulan. Menciumi keningnya satu persatu lalu menarik selimut mereka masing-masing. Diraihnya kentongan hasil patungan warga. Kalung jimat peninggalan kakek dari kakek buyutnya sudah ia pakai sadari tadi. Jimat itu merupakan cakar harimau yang dibunuh kakek buyutnya pada masa penjajahan.

Jam dinding yang menempel di tembok sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Waktunya ia meronda. Berangkatlah ia menuju pos ronda Desa Rojowali menemui rekan-rekan tim penjaga malam.

Malam ini yang bertugas meronda selain dirinya adalah Said, Ubed, Yan dan Kusno. Yan, warga Rw 03 adalah ajudan Pak Naryo. Said sama seperti Dandi sangat penakut, dirinya selalu mempersiapkan bacaan-bacaan pengusir setan karena ia tahu kentongan dan senter tak cukup mampu untuk melumpuhkan makhluk astral itu. Karena itu juga, Dandi sekali-kali musyrik percaya jimat miliknya. Sementara Ubed dan Kusno, warga Rw 07, merupakan sosok bertubuh besar. Ototnya sangat terlatih karena pekerjaan sampingannya adalah kuli pikul belerang. Fisik yang tegap itu malah lebih cocok sebagai pengawal ketiga rekan-rekannya.

Pak Naryo, Lurah Desa Rojowali, ikut mengawasi mereka malam ini. Wajahnya mengisyaratkan sesuatu dengan penuh kewaspadaan. Mengingatkan kembali kepada tim ronda malam untuk sigap terhadap pencuri-pencuri pakaian di malam hari. Pasalnya sudah satu minggu ini warga dikeluhkan dengan berkurangnya pakaian mereka yang dijemur pada malam hari.

"Seharusnya bapak menghimbau dong, supaya warga tidak menjemur pakaian pada malam hari," kata Ubed greget. "Masa kita disiapkan untuk menangkap pencuri pakaian? Jangan-jangan pencurinya cuma iseng."

"Atau jangan-jangan dia mencuri untuk sesajen?" kata Said yang penakut.

"Halah, dasar kamu ini suka mengada-ada," kata Ubed meremehkan Said. "Sudah. Ngawur wae. Saya mau keliling dulu sama Dandi. Ayo, Dan."

Melewati gelapnya malam, Dandi dan Ubed berjalan mengelilingi kampung satu kali. Mereka mendapat giliran keliling setiap dua jam sekali.

Saat berkeliling, Dandi selalu waspada ketika mendengar suara gagak. Burung perwarta kematian itu seperti mengikuti dirinya. Dari atas, burung itu terus berkoak-koak. Kemudian suara koakannya tiba-tiba menghilang menggema dari balik tebing.

Di antara lampu-lampu yang temaram milik rumah-rumah warga, di sebuah tanah lapang yang bersebelahan dengan kebun kentang, Ubed menemukan seonggok tubuh tergeletak di tanah yang basah akibat embun. Lelaki itu berlari menyeberangi kebun. Dandi yang menyusul dibelakangnya mendapati Ubed yang terguncang.

Lampu senter Dandi menyinari tubuh terbaring itu. Jantung Dandi berdetak kencang. Tiba-tiba nafasnya sesak melihat tubuh itu sudah membiru. Salah satu lengannya memeluk kitab suci. Matanya mendelik hebat dengan rongga mulut yang lebar, seperti baru saja berteriak sekuat tenaga namun teriakan itu tak sempat diketahui warga. Kematiannya sangat cepat.

Dandi jatuh terduduk ketika mengenali wajah yang kaku itu. Ia berusaha menarik Ubed yang masih terkejut untuk segera menemui rekan-rekannya di pos ronda.

"Pak," kata Dandi dengan suara parau ketika sampai di pos. "S—sa—saya menemukan mayat!"

"Apa maksud kamu?" tanya Pak Naryo tersentak sambil mengisyaratkan kepada Yan untuk mengambilkan segelas air minum.

Dandi meminum air pemberian Yan cepat-cepat dan mencoba mengutarakan kejadian itu kepada Pak Naryo dan teman-temannya.

"Saya menemukan mayat Pak Salim!"

Semuanya kontan tersentak mendengar berita Dandi.

"Parah, pak!" seru Ubed menambahi. "Tubuhnya kering tak mengeluarkan darah. Dadanya, astaga... berlubang!"

"Kamu menemukan mayatnya di mana?"

"Di lahan dekat dengan kebun saya, Pak," jawab Dandi.

"Terus mayatnya masih di sana?"

Sambil menarik nafas batu yang terasa menghimpit, Ubed dan Dandi kompak mengangguk.

Tak perlu pikir panjang lagi, Pak Naryo berseru, "Cepat lapor polisi!"

Kebun KentangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang