12

2.9K 183 10
                                    

Ridwan, penggali kubur, sudah sangat sabar menantikan kedatangan rombongan sendu itu. Ia berpakaian apa adanya sesuai dengan keadaan karena tidak ada kematian yang dipersiapkan, semuanya serba mendadak. Begitu juga dengan perlengkapan yang ia bawa. Ia hanya berbekal tembakau lintingan dan cangkul di pundaknya dan sesekali mendapatkan informasi dari warga mana saja yang memerlukan jasa gali kuburnya. Ubed kebetulan menghubunginya kali ini. Maka, hanya dengan sekali omongan dan selembar uang seratus ribuan, penggali kubur itu mendadak sigap. Ia menggali tanah lalu menyiapkan nisan yang sudah dipesan Ubed.

Lubang itu sudah menganga lebar dan orang-orang siap untuk menurunkan keranda dan menyingkap penutupnya. Kini tampaklah Dandi dengan hidung yang sudah disumpal kapas dan dipocong kafan. Ustad Malik memimpin doa sekali lagi sebelum jenazah disemayamkan, itu pun karena Pak Naryo mengimingi materi ketika akan berangkat. Dengan enggan dan setengah ikhlas mengajak rombongan―yang tidak bertambah banyak karena semuanya memicingkan mata "Orang itu yang telah meneror desa kita,"―untuk menengadahkan telapak tangan. Orang-orang itu mengucap aamiin seadanya, sebab kebanyakan mereka tidak mengerti apa yang dipanjatkan oleh sang ustad.

Ustad Malik menutup doa tersebut diikuti oleh aamiin serentak, mengusap kedua telapak tangan ke wajah, lalu si penggali kubur mulai turun ke liang, menyuruh Ubed untuk datang membantu. Ubed langsung mencincing celananya, turun dan berdiri tepat di samping rekannya, telapak kakinya merasakan tanah merah itu masih basah, tanah yang menjadi tempat tinggal terakhir Dandi, teman serondanya.

Kusno dan Yan mengangkat tubuh Dandi dari keranda, dan memberikannya kepada Ubed dan Ridwan. Tubuh itu sangat berat, tak disangka oleh mereka―padahal mereka tahu, sepanjang perjalanan―keranda tidak terasa berat. Tubuh mereka sedikit terhuyung ketika mengangkat tubuh Dandi. Kaki Yan menekuk dan meletakkan Dandi di telapak Ubed. Ubed yang bertubuh kekar terkejut bagaimana Dandi yang dikenal berperawakan normal bisa memiliki berat tubuh melebihi bobot kekuatan lengannya? Ridwan pun menopang bagian kaki Dandi dengan susah payah, bersamaan mengistirahatkan Dandi di liang lahatnya, di dasar tanah kematiannya itu.

Ternyata lubang kuburan itu terlampau sempit untuk Dandi, sehingga tubuhnya tak bisa terbujur lepas di sana. "Kok bisa? Aku yakin eh tadi sudah pas," kata Ridwan terheran-heran. Yan pun memperhatikan dari atas dan berpikir untuk mengangkatnya lagi dan barangkali lubang kubur itu perlu diperbesar lagi. Ia meminta Kusno untuk membantunya mengangkat. Kemudian mereka dengan susah payah mengangkat kembali jenazah yang tak muat dalam liang itu, membuat kafannya melorot sedikit dan memunculkan wajah Dandi yang pucat. Kusno terkejut! Ia merasa Dandi mendadak mendelik padanya. Ternyata, mata yang dirasa melihat itu tidak terbukti. Kedua kelopak mata Dandi tetap tertutup rapat.

Yan berinisiatif untuk menurunkan jenazah itu kembali ke dalam sangkar keranda sambil menunggu galian kubur yang diperbesar satu atau dua jengkal itu. Sementara Ridwan, sang penggali kubur, bersungut-sungut karena harus menambah perhitungan tanah yang harus ia cangkul. Memang tidak sulit, namun baginya menghitung adalah hal yang paling rumit karena ia sering bolos ketika mata pelajaran berhitung pada waktu sekolah dulu. Ia bergegas mencangkul tanah tanpa perhitungan yang sesuai. Mencangkul, kemudian melempar tanahnya ke atas. Begitu seterusnya sampai dirasa cukup. Ia harus cepat, karena hari semakin sore.

Kembali mereka berempat menurunkan mayat Dandi. Semakin disodorkan ke dalam lubang itu, tubuh Dandi bertambah berat. Keempat orang yang membopong jenazah menjadi kewalahan, tubuh Dandi seperti menyimpan satu beban yang membucah. Dalam sisa tenaga yang tak mampu menahan berat, Ridwan dan Yan menjatuhkan Dandi tanpa sengaja.

"Aku wis ora kuat, rek," kata Yan menyerah.

Jenazah itu menindih Ubed yang berada di bawah sana. Wajah kaku Dandi yang mati itu menghadap kepadanya. Sontak Ubed setengah menjerit. Ia mencoba berdiri seorang diri, dengan payah, yang akhirnya kepala Dandi yang terpocong itu tersingkap. Kusno terperangah. Bukan melihat Ubed yang menderita di bawah sana tetapi kuburan itu masih terlalu kecil bagi Dandi. Tak ada yang tahu apakah tubuh Dandi benar-benar membesar sewaktu-waktu ataukah si penggali kubur memang tidak bisa berhitung.

"Demi tuhan, aku sudah menambahnya dua jengkal," kata Ridwan pada Kusno sambil memaki dirinya sendiri.

Ubed bangkit sambil memanggul Dandi dan melemparnya kembali ke keranda. Ridwan menggali lagi sekitar satu setengah jengkal untuk memastikan kuburan itu cukup untuk si mayat. Kusno dan Ubed memperhatikan kerja si penggali kubur kalau-kalau memang salah perhitungan. Namun, kali ini Kusno yakin terhadap perhitungan si penggali kubur.

Mereka menurunkan kembali Dandi ke dasar tanah, tetap sesak. Mengangkatnya lagi, keberatan lagi, menggali sejengkal lagi, menurunkan lagi dan masih sesak. Sampai Kusno menyadari bahwa Dandi memang benar-benar di tolak bumi.

"Tanah ini tidak mau menerima tubuhnya," ujarnya getir.

Kebun KentangWhere stories live. Discover now