Live The New Life

39 4 0
                                    

Jakarta, 30 Mei 2018

"Hoaaaaaahm"

Seorang gadis tengah menguap panjang, kemudian dikuceknya kedua safir hitam yang dihiasi dengan kacamata itu dengan kasar.

"Dias, balik yuk? Udah capek nih aku" ujar gadis bernama Gina itu pada satu-satunya teman yang tengah duduk di depannya.

"Yaelah, tumben banget jam segini udah ngantuk? Belom juga jam 11" jawab seseorang berambut pendek sebahu yang sedang asyik mengetikkan sesuatu di laptopnya.

"Iya nih, dari kemarin kerjaan numpuk terus, jadinya nggak bisa bobo cantik belakangan ini" Gina meneguk kopinya yang telah dingin lalu segera mematikan laptop berwarna hitam miliknya.

"Ntar ya Gin, nanggung nih, ide lagi numpuk di kepala. Kamu tidur aja kalo udah ngantuk, aku tinggal dikit kok" ucap Dias tanpa menoleh pada Gina.

"Oke-oke, lanjutin aja dulu" balas Gina sambil asyik bermain dengan ponselnya.

Lima belas menit kemudian Dias menyudahi kegiatannya.

"Sip! Beres!" gumam gadis itu sambil merenggangkan tubuhnya setelah memastikan pekerjaannya selesai. Ia menghela nafas lega, lalu segera mematikan laptopnya. Sejenak kemudian ia melirik sahabatnya yang tak menghiraukannya, rupanya Gina tengah sibuk dengan smartphone di tangannya sambil sesekali mengetikkan sesuatu dengan tersenyum.

"Lagi chatting sama Aris?" tanya Dias.

Gina menatap Dias sejenak, lalu mengangguk.

"Iya. Kamu udah kelar?" Gina ganti bertanya.

"Udah nih. Aku udah order taksi juga" ujar Dias begitu ia selesai membereskan barang-barangnya yang tadi berserakan di atas meja.

Tak lama kemudian taksi pun sampai, Dias dan Gina bergegas meninggalkan kedai kopi yang telah mereka kunjungi sejak pukul 5 sore itu. Seperti biasa, setiap kali mereka memiliki deadline pekerjaan yang harus segera diselesaikan, atau saat Dias dan Gina sedang membutuhkan suasana bekerja yang berbeda dari biasanya, mereka akan bertemu di kafe yang telah menjadi langganan keduanya sejak setahun lalu yang terletak di bilangan Pakubuwono.

"Gimana kabar kamu?" tanya Gina tak lama setelah taksi membawa mereka dalam perjalanan.

"Baik" jawab Dias singkat.

Tak ada jawaban dari Gina. Tampak bahwa gadis itu sedikit ragu untuk melanjutkan basa-basinya.

"Kenapa Gin?" tambah Dias diiringi tawa kecil.

"Mmm enggak sih" jawab Gina sedikit ragu.

Hening. Kedua sahabat itu tak saling melemparkan suara untuk beberapa saat.

"Kalo maksud kamu ini adalah soal dia, aku nggak papa Gin" Dias menghela nafas, kemudian kembali menunjukkan senyum simpulnya.

"Yea, I see" Gina mengangguk-angguk. Ia melirik sahabatnya yang tengah tersenyum, ia dapat melihat bahwa itu bukanlah senyuman yang baik melainkan sebuah senyum yang dipaksakan.

"Kamu nggak mau nyoba pacaran lagi?" tanya Gina hati-hati.

"Hmm... apa ya? Belom kepikiran sih, buat apa juga?" Dias menanggapi pertanyaan gadis di sebelahnya itu dengan nada yang cuek.

"Ya... biar kamu nggak sendirian terus" Gina mengedikkan bahunya.

Dias terdiam. "Thanks ya Gin, but no need to worry, I'm much better now" ujarnya Dias kemudian.

"Aku mungkin belum bisa lupain dia, tapi aku udah nggak papa kok" sambung Dias kemudian. Kali ini ia memasang senyum yang sedikit lebih lebar, berharap dengan begitu dapat mengurangi kekhawatiran Gina terhadap dirinya. Dias tahu bahwa ia tak pandai berbohong di depan sahabatnya itu, yang meskipun sifat bawel sang sahabat sering membuat Dias sebal-sebal sendiri, namun Gina adalah orang yang paling peduli dan mengerti keadaannya.

Somebody I Call "Home"Where stories live. Discover now