TUJUH (Bagian 1)

71 8 6
                                    

Chris Hutapea menatap ponselnya penuh harap. Sejak kemarin baru sekali ia mendengar kabar dari Magali. Magali berkata ia sudah sampai di Portland dengan selamat dan tengah bersiap untuk menuju pesta pernikahan temannya. Setelah itu tak ada lagi kabarnya hingga pagi ini. Chris tak tenang, jika menuruti perasaan ia ingin sekali menelepon Magali dan menanyakan kabarnya. Tetapi, selaku orang tua ia ingin memperlakukannya seperti bocah. Sedikit-sedikit di telepon untuk memastikan ia baik-baik saja. Almarhum istrinya pernah mengkritiknya perkara ini. Ia bilang Chris harus memberi anak-anaknya ruang. Tak perlu dipantau seperti ketika mereka bayi. Toh, Magali sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri.

Namun, kali ini ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Namun, kali ini ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Chris merasa Magali tidak berkata jujur terkait keberadaannya di Portland. Setelah kejadian tidak menyenangkan di masa silam dan mereka pindah ke Ashland, Magali tak pernah lagi berhubungan dengan teman-teman lamanya kecuali dengan dua orang karibnya-Pat dan Colleen. Itupun sudah lama Magali tak pernah bercerita soal mereka. Kabar terakhir tentang keduanya Chris dengar kurang lebih empat tahun silam. Pat kini bekerja di sebuah LSM internasional di Afrika Selatan, khusus menangani wanita dan anak-anak korban kekerasan. Colleen yang berprofesi sebagai make-up artist kini bermukim di California. Terasa sangat janggal jika ada yang mengundang Magali untuk hadir pesta pernikahan sekarang.

Akhir-akhir ini Magali juga kerap berahasia, ia kerap pergi keluar tanpa mengatakan jelas kemana tujuannya. Beberapa kali ia kedapatan bicara dengan seseorang di telepon namun jika ditanya sedang bicara dengan siapa, ia menggelengkan kepala atau menjawab bukan siapa-siapa. Itu bukan Magalinya. Magali yang dikenalnya selalu terbuka. Chris tak mau curiga, namun intuisi sebagai ayah telah bicara. Ada sesuatu dengan gadis itu.

"Matahari? Kakakmu jadi pulang sekarang?"

Matahari yang tengah memasang kaus kaki melengak ke arah sang Ayah.

"Ya, Pa?"

"Kakakmu, jadi pulang sekarang?"

"Tadi sempat bilang sepertinya mundur."

"Mundur?" Chris mengerutkan kening.

"Iya."

"Kenapa katanya?"

Magali mengedikkan bahu. "Ia tak mengatakan dengan jelas alasannya. Cuma bilang ada hal yang mesti diurus."

Chris mengusap kepalanya dengan cemas.

"Kenapa sih, Pa? Kelihatannya kok cemas begitu?" Matahari mendekat dan memeluk Chris.

Chris menggelengkan kepala. Ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.

Matahari masih ingin bertanya saat suara klakson mobil terdengar dari balik pintu pagar. Gadis setinggi 178 cm itu melongok keluar. Rose, sahabat karibnya sudah datang. Ia segera mengambil tasnya dan mencium cepat sang Ayah sebelum keluar.

"Tumben kakakmu tak mengiringimu pergi. Biasanya dia selalu melambaikan tangan," ucap Rose saat Matahari membuka pintu mobilnya.

"Dia ke Portland. Menghadiri pernikahan kawannya."

MAGALI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang