"Forget it!" sentak Nasha. Dia kembali meraih tablet dan mengabaikanku.
"Gladis itu teman Sean," ujarku mulai menjelaskan. Nasha menghentikan gerakan tangannya, tapi dia masih menatap tabletnya. "Dia memang menyukaiku, tapi aku tidak."
"Benarkah? Dia sangat cantik. Mengapa tidak tertarik padanya?"
"Kamu sungguh tidak tahu alasannya?"
Aku bisa mendengar Nasha menghela napas dengan kasar. Sekali lagi dia meletakkan tablet. Matanya memeriksa sekeliling. Mungkin sedang memastikan keberadaan Tina.
"Bisakah kamu lebih jujur?" ucap Nasha dengan suara yang sangat pelan. Pandangan wanita itu tertuju pada lantai. Jadi, dia ingin aku mengatakan yang sebenarnya? Tunggu dulu. Dia tidak sedang memintaku untuk mengungkapkan isi hati, bukan?
"Nasha," panggilku lirih. Nasha hanya memandangku sejenak. "Maukah kamu datang ke rumahku malam ini?"
Wanita di hadapanku mendengus. "Mengapa aku harus ke rumahmu?"
"Untuk mengenalkanmu pada keluargaku."
Nasha mengubah posisi duduknya. Dia terdiam sangat lama. Membuatku menduga kalau dia tidak menyetujui ajakanku. Mengapa dia masih tidak bisa memercayaiku?
"Kenapa kamu harus mengenalkanku pada keluargamu?"
Pertanyaan Nasha ternyata masih berlanjut. Aku tahu apa yang sebenarnya ingin Nasha dengar, tapi terlalu pengecut untuk mengatakan. Ini adalah pengalaman pertamaku menyukai wanita. Tidak mudah bagiku untuk sekadar bilang 'aku menyukai' atau 'aku mencintaimu'. Lidahku kelu setiap kali mencoba mengatakannya. Seperti ada yang mencegahku untuk mengeluarkan kalimat keramat itu.
"Nasha, bisakah kita menemui orang tuaku dulu? Haruskah aku mengatakan alasannya dengan jelas? Aku rasa kamu tahu apa alasanku melakukan itu. Kita sama-sama sudah dewasa," ujarku berkelit.
Diam lagi. Tiba-tiba Nasha berdiri. "Kamu mau kopi?" tawarnya.
"Sebentar lagi juga ada yang menyajikan," sahutku tenang dan seperti sudah menunggu waktu yang tepat, Tina muncul dengan secangkir kopi. Dia tersenyum padaku, lalu melirik Nasha yang berdiri.
"Saya buatkan cokelat panas buat Mbak Nasha," kata Tina dengan senyum yang masih menghias bibirnya.
"Terima kasih, Tina," ujarku ketika Nasha tidak menanggapi ucapan Tina. Tina sempat melirik majikannya lagi sebelum menghilang ke dapur.
"Duduklah, Nasha."
Nasha memejamkan mata cukup lama. Aku bisa melihat dia mengatur napas, sebelum akhirnya duduk kembali. Tatapanku tidak bisa beralih dari wajah cantiknya. Nasha selalu memesona di mataku. Apakah selama ini banyak pria yang beranggapan seperti itu? Sepertinya hanya Alfa yang tidak pernah menyadarinya. Atau sadar, tapi tidak mau mengakui?
"Mau memandangku terus sampai aku bosan?"
Aku tersenyum lebar mendengar pertanyaan Nasha. Dia seperti anak kecil yang sedang merajuk karena keinginannya tidak terpenuhi. Mata indahnya bahkan tidak bermaksud menatapku. Menyadari hal itu, aku sedikit kecewa. Aku merindukan mata hitam Nasha yang selalu melihat ke arahku.
"Nasha, aku ... ," Aku menelan ludah, "mencintaimu."
Nasha menegang di tempatnya. Mata yang kurindukan itu mengerjap-ngerjap. Kedua tangan Nasha mencengkeram erat sisi sofa. Aku menatap cemas dan menunggu.
"Kamu ... mencintaiku?" Aku mengerutkan kening mendengar nada tak percaya dalam kalimat itu. Apa Nasha tidak yakin padaku? Apakah selama ini semua tindakanku kurang jelas? "Kamu bukan hanya merasa bertanggung jawab kepadaku?"
"Kamu meragukan perasaanku?"
"Xel, aku hanya meyakinkan kamu supaya tidak menyesal nantinya. Aku tidak mau kamu menikahiku hanya karena rasa taggung jawab. Kamu tahu aku tidak menginginkan itu, kan? Aku sudah bilang kalau aku bisa mengurus Ares sendiri. Kamu tetap bisa menemuinya meski kita tidak bersama."
Well. Aku mulai mengerti sekarang. Sepertinya Nasha memang sulit menerimaku. Benarkah dia meragukanku? Atau hatinya masih memikirkan Alfa? Aku tersenyum miris memikirkan kemungkinan itu. Tidak ada pilihan yang lebih baik. Keduanya terasa buruk bagiku.
"Do you still remember Alfa?" tanyaku tak sabar.
"Axel, ini bukan soal Alfa. Kamulah yang aku khawatirkan. Aku tidak mau kamu salah menilai hubungan kita."
"Salah menilai?" Suaraku mulai meninggi. "Kamu hanya mencari alasan untuk menolakku, kan?"
"Bukan begitu, Xel. Aku mencintaimu, sungguh. Tapi .... "
Nasha terdiam, lalu menutup mulutnya dengan tangan. Dia mendesis dan memalingkan wajah. Aku sendiri masih terlalu terkejut karena perkataannya. Jadi, Nasha juga mencintaiku? Aku ingin berteriak karena sangat senang.
"Kalau kamu memang mencintaiku, lalu mengapa terus menghindar?"
"Aku ... aku ...." Nasha terus mengedarkan pandangan ke segala arah, tapi tidak mau berfokus padaku. Duduknya juga tidak nyaman. Dia terus berpindah posisi. Aku ingin tertawa melihat tingkahnya. Apakah dia gugup?
"Bagaimana kalau nanti malam?"
"Nanti malam?" ulang Nasha. Dia duduk tenang seketika.
"Iya. Bagaimana kalau nanti malam ke rumahku?"
Nasha menelan ludah. Dia menggigit bibir bawahnya. "Harus nanti malam? Aku masih takut."
"Takut? Apa yang kamu takutkan? Atau siapa?"
"Semuanya, Xel. Ibu dan adik-adikmu. Juga reaksi mereka dengan kehadiranku. Aku takut mereka ...."
"Mereka sudah lama ingin bertemu denganmu, Sha. Aku sudah mengatakan kalau mereka mengetahui hubungan kita sejak awal, bukan? Selama ini mereka hanya melihatmu dari foto. Aku melarang mereka menemuimu, karena takut kamu akan terkejut. Walaupun sesekali mereka mencuri waktu untuk melihatmu dari jauh."
Kedua mata Nasha melebar. "Benarkah?" tanyanya masih belum yakin.
"Kalau kamu sebegitu tidak yakin, mengapa tidak menemui mereka langsung? Aku jamin kamu akan merasa nyaman di tengah-tengah keluargaku. Percayalah padaku," kataku meyakinkan.
Nasha tampak belum yakin dengan kata-kataku. Dia masih diam. Mungkin memikirkan kejadian yang belum tentu akan dia alami.
"Tidak ada yang perlu ditakuti, Sha. Kamu bisa pegang kata-kataku." Aku mencoba meyakinkan Nasha lagi. Sebenarnya aku ingin menggenggam tangannya, tapi itu terasa tidak sopan. Dia sedang dalam proses berhijrah sekarang. Setidaknya aku harus menghormati, bukan?
Omong-omong soal hijrah. Nasha bertambah cantik dengan penampilan barunya. Aku senang dia memutuskan untuk berjilbab. Meski tidak terlalu mengenal agamaku, aku masih salat dan membaca Alquran. Mama juga terkadang memakai jilbab dalam momen-momen tertentu. Semoga setelah kehadiran Nasha, keluargaku lebih tertarik untuk berhijrah.
"Kamu cantik dengan jilbab seperti itu," kataku tulus. Nasha tersipu. Dia tersenyum canggung.
"Kamu keberatan aku memakai jilbab?"
"Tentu saja tidak. Sebaliknya, aku mendukung keputusanmu. Jadi, nanti malam ke rumah?"
Nasha berdeham, lalu mengangguk pelan. "Lebih cepat, lebih baik, kan?"
"Lebih cepat buat menikah dan hidup bersama, bukan?" godaku yang langsung mendapat tatapan tajam dari Nasha. Aku tergelak dan tidak bermaksud untuk menghentikannya. Saat ini aku sedang bahagia, jadi tidak ada salahnya aku tertawa. Lagipula, kami tidak sedang berada di dalam mobil.
---Bersambung---
Assalamualaikum. Axel kembali menyapa. Selamat membaca.
Salam sayang
Lina Rahayu
YOU ARE READING
HUBBIY (Kala Rasa Tiba) ^^==^^ (SELESAI)
SpiritualAxel tak pernah menyangka akan mengalami kejadian yang mampu merubah dunianya. Dia jatuh cinta pada wanita yang mencintai pria lain. Baginya, Nasha adalah cinta pandangan pertama. Sementara bagi Nasha, Axel hanya Sang Penolong. Mampukah Axel membuat...
Part. 4: Agree
Start from the beginning
