"Sepertinya bukan itu, Mas Axel. Mbak Nasha .... "
Aku menunggu kalimat lanjutan dari Tina, tapi dia terlihat ragu. Apa dia menyembunyikan sesuatu? Aku memicingkan mata dan mencoba menebak jalan pikiran Tina.
"Dia marah pada saya?"
Tina mengerjap. "Mas Axel sama Mbak Nasha ada masalah?"
"Memangnya apa yang terjadi pada Nasha?"
"Kemarin, setelah keluar, Mbak Nasha terlihat kesal. Dia mencopoti semua foto Mas Axel dan menyimpannya. Tapi, pagi ini, semua foto Mas Axel sudah terpasang lagi. Makanya saya bertanya seperti itu."
"Jadi, dia memang marah?" gumamku pelan. "Sebaiknya kita masuk sekarang."
Tangan kananku bersiap memencet bel, tapi pintu apartemen Nasha sudah terbuka terlebih dahulu. Wajah Nasha semakin cantik pagi ini. Dia menggunakan tunik dan jilbab biru, dipadukan dengan celana kain berwarna putih. Melihatnya sedekat ini membuatku terpaku.
Kedua mata Nasha memandangku cukup lama, sebelum akhirnya menunduk. Aku bisa melihat dengan jelas jika pipinya merona. Dia berdeham seraya memencet hidung bangirnya. Lalu, kembali menatapku. Kali ini terlihat lebih tenang.
"Kamu di sini?" tanya Nasha. "Masuk!" Dia menyingkirkan badan dan membiarkanku masuk bersama dengan Tina.
"Mau disimpan dulu atau langsung dimakan, Mbak?" tanya Tina sambil mengangkat kedua kantong belanjaannya.
"Simpan saja dulu, Mbak," jawab Nasha. Dia berjalan menuju sofa dan duduk dengan tenang. Aku mengikutinya.
"Ares tidur?"
"Iya. Barusan." Nasha meraih tablet dan mulai sibuk menggambar.
Jadi, Nasha berniat untuk mendiamkanku? Aku menghela napas keras-keras, berharap dia menyadari kehadiranku. Tapi Nasha tetap santai mencoret-coret layar tablet. Entah dia memang serius atau sekadar menghindari perbincangan denganku.
"Kamu sibuk?"
"Kamu bisa lihat sendiri, kan?" tanya Nasha dengan suara sedikit meninggi. Dia sama sekali tidak mengalihkan mata dari benda pipih yang dipegangnya erat. Terlalu erat malah.
Sudut bibirku terangkat melihat reaksi Nasha yang sangat menggemaskan. Dia berkali-kali memijat pelipis. Pemandangan ini sungguh sangat menghibur. Aku sangat merindukan sosok itu, padahal kami baru bertemu kemarin. Rasanya sudah sangat lama aku tidak memandang wajah cantik wanita itu.
"Kamu tidak mempunyai pekerjaan lain selain memandangiku seperti itu?" Nasha melirik sebentar ke arahku, lalu kembali berkonsentrasi pada tabletnya.
"Kamu mendiamkanku?"
"Aku sedang sibuk. Bukankah biasanya memang begini? Kenapa mendadak bicara seperti itu? Atau ada hal yang seharusnya aku tanyakan?"
"Aku juga penasaran. Apa kamu ingin menanyakan sesuatu?"
Tangan Nasha berhenti bergerak. Dia menatapku penuh selidik. "Kamu yang mau mengatakan sesuatu. Bukankah seharusnya kamu memberiku penjelasan?"
Aku bungkam. Jadi, Nasha berharap aku menjelaskan sesuatu? Haruskah aku berkata jujur? Atau mengikuti permainan yang disiapkan oleh Sean?
"Penjelasan seperti apa?" pancingku.
Nasha meletakkan tablet. Sebenarnya sedikit membanting. Dia menyilangkan kedua tangan di dada dan menatap lurus ke depan. Mengapa aku merasa jika dia menghindari tatapanku?
"Axel, kamu sungguh akan bungkam?"
"Maksud kamu?" Itu adalah pertanyaan pura-pura. Aku jelas tahu ke mana arah pembicaraan Nasha.
YOU ARE READING
HUBBIY (Kala Rasa Tiba) ^^==^^ (SELESAI)
SpiritualAxel tak pernah menyangka akan mengalami kejadian yang mampu merubah dunianya. Dia jatuh cinta pada wanita yang mencintai pria lain. Baginya, Nasha adalah cinta pandangan pertama. Sementara bagi Nasha, Axel hanya Sang Penolong. Mampukah Axel membuat...
Part. 4: Agree
Start from the beginning
