1

21.3K 638 3
                                    

Vancouver, Kanada, enam tahun lalu.

"Selamat hari kelulusan, Jas!" Seorang gadis remaja memeluk sahabatnya. Keduanya sama-sama mengenakan baju kelulusan dan menampakkan wajah gembira.

"Terima kasih, Tori! Bagaimana kabar dari McGill?" Jasmine tersenyum menampilkan deretan gigi sempurnanya.

Tori sahabatnya mengangguk senang. "Universitas McGill menerimaku!"

Jasmine ikut meloncat kegirangan bersama sahabatnya. "Aku sangat senang untukmu, Tori, selamat!"

"Trims, Jas. Bagaimana denganmu? Apakah ayahmu sudah memperbolehkanmu mengambil beasiswa Toronto? Jangan sampai melewatkan universitas nomor 1 di Kanada itu, Jas!"

Wajah Jasmine mendadak murung, "Entahlah, Tori. Aku tidak berani bertanya pada ayahku. Ia bahkan mungkin tak hadir ke acara ini."

"Jas..—"

"Jasmine!" panggil seorang pria tua membuat keduanya menoleh.

Jasmine menunjukkan sebuah senyuman, sementara Tori mengernyitkan dahinya.

"Dia ayahku, Tori! Dia datang!" pekik Jasmine girang.

Pria tua itu menghampiri mereka. "Ayo pulang!"

"Tapi, Ayah—"

"Ayo! Kita harus segera ke Amerika!"

"A– apa?!"

Pria tua itu mengambil tangan Jasmine dan menyeretnya pergi dari sana. Jasmine menoleh pada Tori yang menatapnya terkejut. "Aku akan menghubungimu!" Itulah kalimat terakhir yang Jasmine ucapkan pada Tori sebelum ia menghilang di kerumunan orang banyak.

"Benarkah kita akan ke Amerika?" tanya Jasmine saat ia dan ayah tirinya sudah berada di mobil butut peninggalan ibunya.

"Ya. Dan berhenti memanggilku 'ayah'. Aku bukan ayahmu," jawab pria itu ketus.

"M– maaf, Ramon. Tapi.. kenapa kita pergi ke Amerika?" Jasmine menatap Ramon dengan mata berbinar, "apa kita akan berjalan-jalan?"

Ramon tersenyum miring nan sinis. "Ya, bisa dibilang begitu."

"Wah, aku tak sabar! Tapi dari mana kau mendapatkan uang, Ramon? Aku tidak ingin uang hasil kerjamu terbuang begitu saja."

Ramon berdecak kesal. "Sudahlah. Bereskan barang-barangmu. Malam nanti ada orang yang akan menjemputmu."

Beberapa menit kemudian mereka telah tiba di pekarangan sebuah rumah kumuh. Itu adalah rumah ibu Jasmine yang telah meninggal 4 tahun lalu. Tiana—nama wanita itu—meninggalkan Jasmine yang masih berusia 13 tahun bersama suami barunya karena penyakit kanker. Sementara suami pertamanya—ayah kandung Jasmine—sudah terlebih dahulu meninggal karena kecelakaan, tepat di malam Jasmine lahir.

Ramon tak pernah menganggap Jasmine sebagai putrinya. Meski begitu ia juga tak pernah menyakiti fisik Jasmine. Ayah tirinya itu hanya seorang tukang bengkel dan seluruh uang yang ia dapatkan, Ramon habiskan sendiri. Sementara Jasmine harus mencari uang sendiri untuk menghidupi dirinya dan membayar tagihan.

Sama seperti Ramon, Jasmine juga tidak membenci Ramon. Bukan berarti ia juga menyayangi Ramon. Mereka berdua hanya bersikap layaknya teman kos yang tinggal seatap. Bertatap muka saja jarang. Apalagi berbicara pada satu sama lain. Mungkin dalam 1 bulan, hal tersebut dapat dihitung dengan jari.

"Jasmine! Jasmine!" panggil Ramon ketika Jasmine baru saja selesai membereskan pakaiannya ke dalam tas.

Gadis itu menghampiri ayah tirinya di ruang tamu. Di sofa, duduk dua orang lelaki bertubuh besar.

Sir NoahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang