LLB; Misi Selesai & Kenyataan Sebenarnya [3]

Mulai dari awal
                                    

Biar begitu, Rehan adalah orang yang mandiri dan di jamin bisa hidup dimanapun.

Ponsel diatas nakas kamarnya berdering. Rehan yang tengah menge-pel sekitaran ranjang, dengan cepat berlari.

Namun naas, karena lantainya becek, Rehan malah terpeleset.

Oh dan satu lagi, Rehan itu sebenarnya paling nggak bisa kalau udah nge-pel. Semuanya bakal lebih enak dibilang kebanjiran daripada basah karena nge-pel.

Dengan merintih, Rehan lalu mengangkat teleponnya tanpa melihat siapa yang menelpon, "Assalamualaiku-akh, ah..."

"Waalaikumsalam, Boy? Kamu sehat nak? Loh, An? Kenapa?"

Sadar dengan suara siapa yang saat ini tengah tersambung di teleponnya, Rehan berusaha memperbaiki suaranya agar sang Ibu- itu ibunya Rehan- nggak mencurigai dirinya dengan sesuatu, "Nggak papa Bu, Aan nggak papa. Ada apa bu, pagi-pagi sudah telepon?"

Ibu terdengar mengerang dari sana, "Jawab dulu, kamu itu kenapa? Kok suaranya jadi serak gini? Kamu bawa anak perempuan siapa kesana? Sudah siang kok masih serak suaranya?" Tanya Ibu dengan berlebihan.

Rehan mendesah pelan, "Ibu, jangan suka nuduh Aan dong Bu. Aan juga walaupun masih sendiri, punya harga diri untuk nggak bawa wanita manapun kerumah. Trus kenapa ibu pagi-pagi sudah nelpon, sih?"

"Kamu memang anak durhaka, An. Ibumu ini datang jauh-jauh dari palemba-"

"Apa? Ibu datang ke mana?"

Suara ibu terdengar mengerang lagi, "Kemana memangnya kamu pikir? Ibu sudah di bandara ini. Sudah, cepat kamu jemput ibu disini, Ibu tunggu."

Dan ibu memutus panggilannya sepihak.

Mimpi kejatuhan apa sampai Ibu datang kesini?

-

"Kamu lagi rapih-rapih?"

Setelah ibu menelpon beberapa jam lalu, Rehan langsung bergegas menaiki mobilnya untuk tancap gas ke bandara.

Sesampainya disana, Ibu bukannya meluk atau kangen-kangenan, dirinya malah di pukul pakai tongkat dan justru berakhir dengan omelan panjang lebar selama di jalanan tadi.

Dan bahkan baru aja berhenti kurang dari dua detik setelah mereka sampai, "Nggak, hanya menata ulang."

Rehan nggak mungkin ngaku kalau dia lagi rapih-rapih. Karena Ibu pasti akan mengungkit soal istri, "Jangan berbohong sama ibu, An. Ibu tahu putra ibu ini rajin. Tapi kalau bisa ya dicari yang bisa lebih pantas mengerjakan ini. Kamu nih pantasnya bekerja saja, kan."

"Masa mau bereskan rumah saja harus nunggu ada yang ngerjain? Ibu tahu sendiri, Aan nggak suka sama rumah berantakan."

Ibu menatapnya dengan marah, "Ya usahanya itu di kuatkan lagi. Mau sampai ibumu ini mati kah kamu akan nikah? Bapak mu saja nggak sempat melihat Ghania menikah, sekarang kamu masih juga mau nunggu sampai ibu meninggal kayaknya? Yasudah, Ibu meninggal saja."

"Ibu jangan begitu lah bu. Aan butuh waktu bu. Butuh waktu seperti saat ibu memilih untuk kembali ke palembang dan melupakan bapak. Ibu butuh waktu kan? Sampai akhirnya ibu memilih untuk menetap di lingkungan komplek yang sama dengan Mamah Elsa. Aan mengikuti ibu kok saat itu." Ujar Rehan mengingat masa lalunya. Terlalu lelah dengan kata-kata Ibu yang selalu mengungkit soal bekeluarga.

Dulu sebelum Ibu memilih kembali ke kampung, Rehan kecil dan Ghania sempat tinggal di daerah pertanian yang dibangun oleh almarhum Bapak. Rehan sudah sejak kecil jadi anak yatim.

Keluarga di palembang sangat mengharapkan kedatangan ibu untuk kembali kesana. Tapi karena ibu sendiri nggak kuat pindah ke palembang karena memang kisah cinta Ibu dan Bapak di mulai disana, akhirnya semua kebun Bapak di jual dan digantikan dengan rumah di komplek yang sama dengan Rumah Dirga. Rehan pun mengenal Dirga karena mereka tinggal disana sebelum ke palembang.

Laki-Laki Biasa [Completed] (Sedang Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang