2. Tidak Seperti Kelihatannya

106 19 53
                                    

Wendy merengut kesal sambil menyuap sesendok nasi ke mulutnya. Sesekali Wendy juga melirik mama yang duduk tenang sambil menyuap nasi. Berbeda dengan Wendy yang merengut, Sarah malah terkikik geli mendengar cerita dari papa perihal peristiwa tadi sore yang membuat Wendy habis dihajar sang mama.

"Nggak usah ketawa!" Wendy sekarang benar-benar kesal. Saking kesalnya, suara Wendy bergetar menandakan ia akan menangis sebentar lagi.

Bagi Wendy, semua yang ia terima hari ini benar-benar tidak adil. Kenapa hanya dirinya yang disalahkan mama? Padahal Jean juga bersalah. Ingin rasanya Wendy meriakkan hal itu sekeras-kerasnya di depan wajah mama, tapi Wendy mana berani. Sekarang, Wendy hanya bisa menahan tangis karena sang mama yang sudah tidak sayang lagi padanya.

Wendy mengusap matanya kasar, air matanya mulai keluar dan matanya sudah merah saat ini. Di luar, Wendy memang terlihat garang, setiap hari bertengkar dengan Jean dan saling melemparkan sumpah serapah. Tapi, di rumah, Wendy hanya seorang anak bungsu yang terbiasa dimanjakan orang tua dan kakaknya. Tentu saja, dimarahi mama atau papanya sedikit, hati mungil Wendy langsung merasa sedih.

"Ulu, ulu, ulu, adek kecil kesayangan aku malah nangis, Pa." Sarah mendorong kursi dan bangkit menghampiri Wendy yang sudah menangis dengan terang-terangan sekarang.

Sarah memeluk kepalaWendy yang ia sandarkan ke perutnya. Ia terkikik geli tak habis pikir dengan Wendy yang masih cengeng walaupun sudah beranjak remaja. Berbanding terbalik dengan saat Wendy bersama Jean, adiknya ini malah seperti singa betina yang siap menerkam mangsa apapun yang lewat di hadapannya.

"Udah Wendy, nggak usah nangis, kamu udah gede." Kali ini ama buka suara.

"Bukan masalah udah gede atau nggaknya, yang anaknya mama itu aku atau Jean, sih?" Sekarang suara tangis Wendy memenuhi meja makan. "Lo kalau mau ketawa, pergi aja sana. Nggak usah peluk-peluk gue." Wendy sekarang mendorong Sarah dan menjauhkan kepalanya dari jangkauan kakaknya itu.

"Assalamualikum Mama!"

Suara anak kecil yang berlari semangat menghampiri Sarah menggema di ruangan ini membuat Wendy segera menghapus air matanya kasar. Sebenarnya percuma saja dihapus, jejak-jejak air mata yang mengalir di pipinya masih terlihat jelas.

"Waalaikumsalam, udah puas main di rumah nenek?" Sarah berbicara dengan suara yang dibuat seperti anak kecil.

"Tante kenapa nagis, Ma?" Bukannya menjawab pertanyaan sang mama, Dino malah menatap tantenya yang terisak-isak sambil mengusap wajah.

"Emang nggak ada yang sayang aku!"

Sekarang Wendy bangkit dari duduknya dan melangkah menjauhi meja makan. Sengaja juga ia menghentakkan kakinya dengan keras agar mama atau papa membujuknya. Dalam hatinya, Wendy merutuki Dino yang selalu saja datang di waktu yang tidak tepat. Kenapa, sih? Bocah itu selalu muncul saat Wendy sedang menangis.

Wendy menangis di atas tempat tidur sambil mengacak-acak rambutnya kesal. Sesekali ia melirik pintu kamar yang sengaja tak dikuncinya. Wendy menunggu kedatangan mama atau papa kemari untun membujuknya.

Dalam hati, Wendy bersorak girang saat ada yang membuka pintu kamarnya. Saat kepala papa muncul dari balik pintu, Wendy kembali menangis. Tidak perlu Wendy ragukan lagi, Papa adalah orang yang paling menyayanginya dibanding mama.

"Udah dong nangisnya, Wendy kan udah gede," ucap papa sambil berjalan menghampiri Wendy.

"Tapi nggak ada yang sayang sama Wendy," isaknya.

"Siapa sih, yang nggak sayang sama Wendy? Mana orangnya? Kasih tau, biar papa marahin."

"Tuh, Mama," ucap Wendy sambil mencebik.

Blush OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang