Part. 2: SURPRISE

Start from the beginning
                                        

Seperti dugaanku, Sean pasti hanya main-main. Seharusnya aku tidak percaya dengan mudah. Aku mengeluarkan ponsel dan mulai menghibunginya. Tidak ada jawaban.

"Axel Dirgantara Walzer?"

Aku menurunkan ponsel dan menatap sosok yang menyapaku. Seorang wanita. Dandanannya sangat sempurna. Make up yang digunakannya seolah memancarkan sinar. Hidung kecil yang mancung. Pipi yang memerah. Bahkan bibir mungil yang dipoles listrik pink. Semua tampak pas pada dirinya. Tapi Nasha lebih cantik daripada dia.

Mengapa aku membandingkan wanita asing itu dengan Nasha? Memangnya dia siapa? Aku merasa tidak pernah mengenalnya.

"Boleh duduk di sini?" Tanpa menunggu jawaban, dia duduk di sampingku. Merasa posisi kami terlalu dekat, aku refleks bergeser. "Kamu lupa padaku?"

"Memangnya kita saling kenal?"

"Ya, ampun. Kamu benar-benar melupakanku. Aku Gladis," ucap wanita itu seraya memukul lenganku.

Aku kembali menggeser posisi. Siapa wanita bernama Gladis itu? Aku mencoba untuk memutar memori, tapi tidak menemukan ingatan tentang Gladis. Apakah dia temanku? Jika dia memang mengenalku, seharusnya dia tahu kalau aku tidak suka disentuh tiba-tiba. Siapa dia sampai begitu mudah menyentuhku? Memangnya dia memiliki hak itu?

Mataku memperhatikan Gladis yang dengan santai memanggil pelayan dan memesan jus apel. Lalu, kembali menatapku dengan sebal. Seolah aku melakukan sesuatu yang membuatnya marah. Aku mengalihkan pandang. Rasanya tidak nyaman bertatapan dengan sosok asing.

"Sepertinya kamu salah orang," kataku pelan. Aku memperhatikan suasana kafe yang lumayan ramai. Semoga tidak ada orang yang mengenalku di sini.

"Axel Dirgantara Walzer. Aku sudah menyebutkan nama lengkapmu tadi," kata Gladis bersikeras.

Aku ingin mengatakan kalau banyak orang yang mengetahui nama lengkapku. Tapi aku tidak mau terlihat sombong atau semacamnya. Bisa saja Gladis itu hanya sok kenal, bukan?

"Kamu sedang menunggu seseorang?" tanya Gladis sambil menyapukan pandang ke sekeliling kafe.

"Bukan urusan kamu," jawabku ketus. Bukannya tersinggung, Gladis malah tergelak.

"Kamu memang sangat dingin," ujar Gladis, masih dengan sisa tawanya yang sangat menyebalkan.

Tawa Gladis terhenti saat pelayan membawakan jus apel pesanannya. Dia menyodorkan minuman itu padaku seraya mengedipkan sebelah mata. Aku yang terkejut dengan sikapnya bersiap untuk berdiri. Sayangnya, minuman itu malah tumpah dan sedikit mengenai kerah kemejaku.

Gladis membulatkan mata. Dia segera mengambil tisu dan mulai menyentuh bajuku. Aku sungguh tidak bisa bertahan lebih lama, jadi aku menyingkirkan tangannya. Tanpa kuduga, wanita itu malah menggenggam tanganku. Bola mataku nyaris melompat keluar menyadari kedekatan kami.

"Axel."

Sekarang giliran jantungku yang serasa akan memberontak keluar  ketika mendengar suara itu. Suara Nasha. Aku tidak mungkin salah. Pandanganku bertemu dengan Nasha yang tersenyum canggung. Tapi hanya sebentar, karena Nasha lebih tertarik pada hal lain.

Aku mengikuti arah pandangnya. Gawat! Dia melihat tangan Gladis yang memegang tanganku erat. Aku memandang tajam wanita itu agar dia sadar diri. Tapi tampaknya dia memang tidak bermaksud melepaskan tanganku, jadi aku menyentak tangannya dengan kasar.

"Nasha, dia ...."

"Hai, kamu Nasha?" tanya Gladis dengan gaya seolah sudah mengenal Nasha sebelumnya. Dia mengulurkan tangan dan tersenyum lebar. "Aku Gladis. Teman dekat Axel."

Aku ingin membantah ucapan Gladis, tapi Nasha malah menyambut tangan wanita itu. Dia sama sekali tidak merasa terintimidasi dengan sikap Gladis yang aneh. Nasha tidak mungkin memercayai Gladis, bukan?

"Hai, aku Nasha. Aku ... ," Nasha sempat melirikku sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "hanya teman lama Axel."

Apa kata Nasha? Hanya teman lama? Seriously? Dia adalah calon istriku. Bukankah aku sudah berulang kali melamarnya? Bahkan aku hampir mengakui kalau aku mencintainya. Mengapa sekarang dia seolah tak mengenalku dengan baik?

"Really? Aku pikir kamu calon istrinya?" Pertanyaan Gladis membuatku menoleh pada wanita itu. Apa dia mengenal Nasha? Caranya bertanya sangat mencurigakan.

"Kamu pasti salah orang," elak Nasha.

"Axel bilang dia akan menikahi seseorang, padahal aku tidak pernah melihatnya dekat dengan wanita mana pun. Jadi, waktu kamu menyapanya tadi, kupikir kalian cukup dekat. You know, tidak banyak orang yang mau menyapanya," kata Gladis santai, lalu tertawa tidak jelas.

"Benarkah? Mungkin dia hanya mengatakan itu untuk menolakmu," balas Nasha.

"Nasha," panggilku tak sabar. Aku tidak ingin Nasha salah paham padaku. Kami baru saja dekat. Aku tidak rela membiarkan orang asing merusak kebahagiaan kami.

"Aku benar-benar tidak mengenalnya. Trust me," ucapku serius.

Nasha tersenyum. "Aku selalu memercayaimu, Xel. Tidak perlu khawatir."

Tapi aku tidak bisa memercayai ucapan Nasha. Dia jelas tidak terlihat percaya padaku. Senyumnya terlihat sedikit aneh dan entah mengapa itu membuatku merinding.

"Aku hanya kebetulan melihatmu, jadi aku menyapa. Maaf kalau aku mengganggu kalian. Permisi." Nasha melirikku lagi sebelum benar-benar pergi.

"Nasha!" Aku melangkah untuk mengejar Nasha, tapi Gladis menahanku.

"Tidak usah dikejar."

Aku menatapnya penuh kemarahan. Apa haknya untuk mencegahku?

"Sebenarnya apa yang kamu inginkan? Kita bahkan tidak saling mengenal," protesku berapi-api.

Gladis mengangkat bahu. "Kita memang tidak saling kenal."

"Lalu apa maksud kamu mengatakan kalau kita teman dekat?"

"Supaya Nasha cemburu."

"Apa?"

"Sean yang menyuruhku ke sini."

"Surprise!" Sean tiba-tiba muncul dari belakangku. Jadi, dari tadi aku menunggu siapa? Aku mulai bisa menarik benang merah dari kejadian tadi.

"Jadi, ini yang kamu sebut bantuan?" tanyaku memastikan. Sean mengangguk cepat.

"Bagaimana? Keren, kan? Ini memang cara kuno, tapi sekaligus paling ampuh."

"Tapi Nasha marah," kataku mulai tak sabar.

"Memangnya menurut Kakak, kenapa Kak Nasha marah?"

Aku terdiam. Betul juga. Mengapa Nasha terlihat marah tadi? Mataku membelalak setelah menyadari sesuatu. Jangan bilang kalau Nasha ....

"Betul sekali. Kak Nasha cemburu. Itu artinya dia suka sama Kakak."

Senyumku melebar membayangkan Nasha yang mulai membuka hati. Rasanya aku ingin segera menyusul dan mengatakan kalau semua ini hanya akal-akalan Sean. Tapi sebaiknya jangan dulu. Aku akan tunggu reaksi Nasha selanjutnya.

"By the way, sejak kapan Kak Nasha pakai jilbab?"

Aku tercenung mendengar pertanyaan Sean. Dari tadi aku memang merasa ada yang ganjil. Ternyata itu adalah penampilan Nasha. Sejak kapan dia memutuskan untuk berhijab?

---Bersambung---

Assalamualaikum. Saya kembali lagi. Hari ini nongol si Sean. Adik Axel yang hobinya ngusilin orang 😂

Gimana part ini? Semoga suka, ya. Selamat membaca.

With love

Lina Rahayu

HUBBIY (Kala Rasa Tiba) ^^==^^ (SELESAI)Where stories live. Discover now