Sepasang Liontin Perak

En başından başla
                                    

“Siapa yang gak kenal Affa? Murid satu sekolah mengenalnya.”

“Dia tipe orang populer, ya?”

Selli mengangguk lagi. “Bukan cuma populer, tapi juga cowok paling cakep dan ditakuti di sekolah! Eh, aku ‘kan pernah cerita ke kamu.”

“Tapi bukan Affa yang kamu ceritain.”

“Oh iya, dia lebih dikenal dengan nama Fore di kalangan cewek-cewek. Tapi, serius kamu dijodohin sama dia?”

Lia mengangguk pelan. Antara ingin membenarkan dan tidak. Lebih-lebih mengingat sikap Affa padanya sewaktu pertemuan pertama mereka. Sangat meninggalkan kesan buruk di hatinya.

“Aduh, kamu beruntung banget.”

Lia mengernyitkan alisnya yang melengkung indah bak bulan sabit. Matanya menatap tajam pada Selli, teman satu kompleks yang satu sekolah dengan Affa. Gadis itu tersenyum-senyum sendiri, entah membayangkan apa atau siapa.
Sedetik kemudian Selli mulai bercerita tentang Affa. Seolah kisah cowok itu memang tak pernah ada habisnya.

♥♥

Rabu sore, sebulan setelah pertemuan keluarga Lia dan Affa. Gadis itu baru saja keluar dari gerbang sekolah setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai ketua mading (baca: majalah dinding). Kedua tangannya penuh. Memegang buku di sebelah kiri, dan tas plastik berisi tempat nasi dan minum di sebelah kanan.

Ia berdiri di depan halte. Menunggu angkutan kota menuju jurusan rumahnya melintas. Langit tampak mendung, pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Lia, gadis berkuncir satu itu meringis saat melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. 17.35 Wib.

“Bagaimana kalau tidak ada angkutan?” keluhnya.

Matanya memandang ke sisi lain jalan. Berharap angkutan berwarna biru melintas. Namun setelah menunggu cukup lama, tak satu pun yang melintas. Lia mulai cemas. Ingin menelepon jelas tidak mungkin. Sekolahnya melarang setiap siswa membawa ponsel, dan di zaman serba canggih begini, untuk menemukan telepon umum sama halnya seperti mencari gipang—makanan kesukaannya sewaktu kecil—di warung. Sulit.

Ia menghela napas dalam. Kemudian memilih duduk di kursi panjang halte. Tepat pada saat itu, sebuah motor vespa warna biru metalik berhenti di depannya. Di atas motor, duduk seorang cowok yang masih mengenakan seragam SMU dilapis jaket jins belel. Cowok itu membuka helm, yang sontak membuat mata Lia membulat.

“Kamu?!”

“Hn, ayo, pulang!”

“Apa?”

“Loe gak budek, ‘kan?!”

Lia segera berdiri dari duduknya. Memandang tak berkedip pada cowok berwajah angkuh. Ia tak ingin lagi mengatakan bahwa cowok itu tampan seperti artis Korea. Bagaimana dia bisa di sini?

“Naik,” ucap Affa pendek.

Lia hanya bergeming. Menatap dalam pada Affa. Ia masih tak habis pikir, bagaimana cowok itu bisa berada di depan sekolahnya. Padahal jelas jarak sekolah mereka jauh dan berbeda jurusan dari tempat Affa datang tadi. Apa ia sengaja?

“Kalo gak mau, gue tinggal!”

“Eh, iya.”

Dengan cekatan, Lia naik ke jok belakang. Di depannya, Affa memberikan helm miliknya. Lia menerimanya ragu. Namun, saat melihat mata hitam Affa, gadis itu langsung  memakainya cepat.

Sesaat setelah memastikan Lia sudah mengenakan helm. Affa menghidupkan vespa antiknya.

“Pegangan,” ucapnya di antara deru motor.

Semesta KisahHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin