Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Axel termasuk pengusaha muda yang terkenal. Bagaimana jika media tahu kalau dia memiliki anak di luar nikah? Aku takut dia akan mengalami kesulitan. Cukup aku yang lari dan bersembunyi karena masalah ini. Jangan Axel.
Aku juga memikirkan tentang keluarga Axel. Bisakah mereka menerimaku? Aku takut saat membayangkan reaksi keluarganya begitu melihatku. Khawatir mereka mengizinkan Axel menikahiku hanya karena kesalahan yang kami lakukan.
"Xel, berhentilah, please," pintaku lirih.
Axel mendengus. Dia menatap Ares yang terus menggumam di kasur kecilnya, lalu tersenyum. Tangan kanannya membelai pipi anak itu.
"Mama sangat keras kepala, Sayang. Bisakah kamu membujuk Mama untuk Papa?"
Mataku melebar mendengar permintaan Axel pada Ares. Meski kami terbiasa menyapa Ares dengan panggilan itu, tetap saja, hatiku berdesir setiap Axel mengatakannya. Seolah kami cukup dekat untuk saling menyapa 'mama-papa'.
Kenyataannya Axel lebih dekat dengan Ares. Hal itu terkadang membuatku iri. Ares lebih banyak mengoceh saat bersama Axel. Ini semua karena Axel terlalu sering berkunjung. Bahkan kadang seharian penuh jika dia sedang libur dan tidak sibuk. Sementara aku harus berkutat dengan desain baju hampir sepanjang hari. Mau bagaimana lagi? Aku butuh banyak uang untuk masa depan, bukan? Lagipula, aku tidak bisa tiba-tiba menutup butik yang telah kubanggakan selama ini. Aku bersyukur memiliki banyak karyawan yang bisa dipercaya. Jadi, aku tidak terlalu khawatir dengan keberlangsungan butik.
"Aku dan kebahagian adalah dua kata yang tidak bisa disatukan. Jika kamu terus mendekatiku, kamu tidak akan pernah bisa bahagia. Jadi, please, jangan seperti ini."
Axel terdiam cukup lama sebelum bertanya dengan nada terluka, "Kamu masih belum bisa melupakan Alfa, bukan?"
"Axel," desisku.
Aku mendengar Axel menghela napas berat. Dia berpaling padaku dan tersenyum.
"Tidak bisakah kamu membuka hati sedikit saja? Saya ingin Ares bersama dengan kita. Kamu pasti sangat mengerti bagaimana hidup tanpa seorang ayah."
Ya, tentu saja aku mengerti. Sejak kecil aku tidak pernah mengenal sosok ayah. Rasanya sangat berat ketika banyak orang yang memandang sebelah mata status itu. Tapi, nyatanya aku bisa bertahan. Ares juga pasti mampu melewati ujian yang pernah kulalui, dia lebih kuat dariku.
"Saya tahu Ares mampu melalui hari-harinya tanpa seorang ayah, tapi dia harus berusaha lebih keras. Tidakkah kamu ingin meringankan beban Ares?"
"Kamu juga tumbuh tanpa sosok ayah, Xel," ujarku mengingatkan.
"Itulah yang saya maksud. Kita sama-sama tahu jika hidup tanpa sosok ayah sangat tidak mudah. Jadi, jangan biarkan Ares merasakan apa yang kita lalui."
"Tapi, Xel, kita tidak saling mencintai."
"Kamu yang tidak mencintai saya, Sha," mataku beralih cepat menatap Axel. Apa maksudnya? Dia tidak ....
"Saya tidak akan mengatakan hal itu sampai kamu mau menikah dengan saya," kata Axel setelah berdeham beberapa kali.
"Kamu benar-benar sudah memberi tahu keluargamu mengenai Ares?" tanyaku, mencoba mengalihkan pertanyaan yang berkecamuk di kepala.
"Kamu meragukan saya?" Aku mengangkat bahu. "Semua keluarga saya menanti kedatangan kamu dan Ares ke rumah. Mereka menanyakan hal yang sama setiap hari sampai saya merasa bosan menjawab."
"Memangnya apa yang mereka tanyakan?"
"Kapan saya berhasil membujuk kamu agar bersedia menikah dengan saya," jawab Axel tenang.
Sekarang giliranku yang terdiam. "Kamu mungkin hanya bisa menikahi ragaku. Karena jiwaku masih sulit dikendalikan."
"Saya bersedia menunggu untuk itu. Setidaknya kamu bertemu dengan Mama dulu. Mama sangat menantikan saat-saat ini."
"Saat-saat ini?" beoku tak mengerti.
"Saat di mana saya telah menemukan wanita impian saya."
Ya ampun, hati! Jangan melonjak kegirangan seperti itu. Bukankah kamu masih mencintai Alfa, mengapa kamu berdebar hanya karena perkataan Axel barusan?
"Jadi, bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Sha, kita sudah cukup lama berusaha saling mengenal. Mengapa kamu terus berpura-pura?"
"Karena nyatanya aku belum mengenalmu sama sekali."
"Maksud kamu?"
"Kamu tidak merasa nyaman saat bersamaku, kan?"
Kening Axel menampilkan kerutan. "Tentu saja saya nyaman. Kalau tidak, untuk apa setiap hari saya datang ke sini?"
"Tapi kamu masih menggunakan kata saya waktu berbicara. Itu artinya, aku tidak membuatmu nyaman, kan?"
Axel mendengus. "Jadi, hanya karena hal itu?"
"Hanya?"
Aku menatap sebal Axel saat dia malah tersenyum. "Kalau begitu, aku bisa merubahnya."
"Mulai terpesona?" Aku terkejut karena sempat tertegun. "Aku bisa melakukan apa saja untuk meyakinkanmu," lanjut Axel.
Aku masih belum bisa menemukan kata-kata yang tepat. Mengapa aku merasa jika suasana apartemen jadi sedikit panas. Padahal aku bisa melihat tetesan hujan yang turun dari jendela apartemen.
"Jadi, kapan kita akan menemui Mama?" desak Axel.
Tetap tidak ada jawaban dariku. Aku masih setia menatap rintik air di luar sana. Hatiku belum yakin dengan keputusan yang tepat. Bolehkah aku meminta Axel menunggu sebentar lagi?
#menulisfiksi90hari
#90harifiksiseru
#90daysfiction
#Infinitylovink
---Bersambung---
Assalamualaikum. Nasha muncul lagi. Ada yang nungguin dia nggak, sih? 😂
Cerita Hubbiy ini update dua hari sekali, ya.
Doakan saya bisa menyelesaikan kisah Nasha-Axel. Jangan lupa untuk selalu mendukung saya 😉
With love
Lina Rahayu
ESTÁS LEYENDO
HUBBIY (Kala Rasa Tiba) ^^==^^ (SELESAI)
EspiritualAxel tak pernah menyangka akan mengalami kejadian yang mampu merubah dunianya. Dia jatuh cinta pada wanita yang mencintai pria lain. Baginya, Nasha adalah cinta pandangan pertama. Sementara bagi Nasha, Axel hanya Sang Penolong. Mampukah Axel membuat...
Part. 1: Ragu
Comenzar desde el principio
