Ya ... ya ... ya ....

Aku tahu kalian pasti akan menyakahkanku. Atau mengatakan kalau aku ini wanita pemaksa. Apalagi saat itu Alfa sudah memutuskan untuk menikah dengan Almira. Dia dijodohkan dan berniat untuk membuka hatinya pada gadis lain.

Bayangkan bagaimana perasaanku? Aku menunggu Alfa yang terluka karena dikhianati oleh Hana, mantan kekasihnya. Tapi dia malah memberikan kesempatan kepada gadis lain untuk mengobati luka hatinya. Mengapa bukan aku? Aku yang selalu berada di sampingnya ketika dia putus asa. Aku yang selalu menjadi sandarannya. Aku yang mendengarkan semua keluh kesah dan menghiburnya. Lalu, mengapa dia membiarkan gadis lain merebut posisi yang kuinginkan?

Cukup! Aku selalu kehilangan kendali saat membicarakan tentang Alfa. Aku sudah memutuskan untuk melepas Alfa. Aku tahu itu. Seharusnya aku memulai lembaran baru dengan Axel atau siapa pun. Mengapa aku tidak mampu melakukannya?

"Nasha!"

Aku tersentak mendengar panggilan Axel. Mataku menangkap sosok pembantu rumah tanggaku yang berdiri di dekat pintu keluar. Dia tersenyum kikuk.

"Mbak Tina mau pulang sekarang?" tanyaku pelan. Wanita yang berusia enam tahun lebih tua dariku itu mengangguk.

"Memang sudah waktunya pulang, Mbak." Aku melihat jam di pergelangan tanganku, lalu tertawa pelan. "Saya permisi, Mbak Nasha. Mari, Mas Axel."

Axel menggaruk tengkuk mendengar panggilan 'Mas' yang dilontarkan Tina, tapi tetap mengangguk sopan. Padahal dia sudah terbiasa dengan panggilan itu semenjak Tina bekerja di apartemenku. Axel itu orang Jawa, tapi lebih suka dipanggil 'Kak'. Katanya panggilan itu lebih Indonesia.

"Kalau kita sudah menikah, kamu akan memanggil saya mas juga?" tanya Axel setelah Tina menghilang di balik pintu apartemen.

"Aku bakal manggil kamu saya," jawabku ketus.

Axel terbahak mendengar jawabanku. Membuat mulutku terbuka lebar menyaksikan pemandangan ganjil itu. Aku bahkan tidak berkedip untuk sekadar memastikan penglihatanku. Tapi, keterkejutanku hanya berlangsung sekian detik. Axel ternyata cepat menyadari kesalahan. Dia berdeham keras untuk menutupi rasa malu.

"Kenapa berhenti tertawa?"

Wajah Axel membatu. Dia menatap lurus ke arah lain. Terus terang saja, aku merasa jika pria itu terlalu menutup diri. Dia seolah tidak mengizinkan dirinya untuk bahagia. Padahal dia selalu berkata bahwa setiap orang berhak bahagia. Lalu, mengapa dia mengunci diri dalam dunianya sendiri?

"Karena tertawa membuat saya lupa diri." Keningku berkerut, tapi tidak menyela. Karena sepertinya dia masih ingin mengatakan sesuatu. "Saya dulunya orang yang paling sering tertawa. Tapi, ternyata tawa itulah yang membuat saya kehilangan Papa."

Aku menggeser posisi agar bisa melihat wajah Axel, tapi harus kecewa karena saat ini dia kembali berekspresi datar. Sudah lama aku penasaran dengan cerita mengenai ayahnya. Axel selalu berubah dingin ketika membicarakan sosok pria yang telah  meninggal itu. Pasti ada rahasia yang disimpan oleh Axel.

"Mau menceritakan sesuatu?" tawarku halus. Aku tidak ingin terlihat ingin tahu urusan Axel.

Axel memicingkan mata. "Kamu penasaran?"

"Lupakan."

"Mungkin saya akan menceritakan hal itu setelah kamu bersedia menjadi istri saya."

"Axel! Pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa kamu permainkan." Aku menelan ludah dan mencibir dalam hati. Bukankah aku dulu juga mempermainkan ikatan suci itu?

"Kamu pikir saya sedang bermain-main? Saya serius dengan lamaran saya."

Axel menatapku serius. Itulah yang kutakutkan. Dia terlihat bersungguh-sungguh untuk menikah. Sementara aku masih belum bisa lepas dari bayang-bayang Alfa. Aku paling mengerti bagaimana rasanya memiliki pasangan yang mencintai orang lain. Axel memang ayah kandung Ares, tapi bukan berarti aku bisa bersamanya dengan mudah.

HUBBIY (Kala Rasa Tiba) ^^==^^ (SELESAI)Where stories live. Discover now