Tak Mungkin

23 2 0
                                    


Entah mengapa Azka memilih kafe ini. Tempat yang mengingatkanku pada Arman. Orang yang paling tak ingin kusebut namanya hari ini. Harusnya tak perlu menyetujui permintaan Azka tadi, hingga lubang di hati tak semakin menganga.


Ya, bagaimana lagi. Sekarang aku sudah duduk di sini. Namun, meja di sudut terjauh dari pintu masuk menjadi pilihan. Tak seperti saat bersama si mata elang yang selalu memilih meja dekat jendela.


Alasanku memilih meja ini tentunya karena paling tersembunyi dan tak akan menjadi pusat perhatian. Walau menurut ibu, anak perempuannya ini paling cerewet, tapi aku tak suka jika seluruh mata terpusat pada diriku.


Menjadi terkenal bak selebriti juga bukan satu dari banyak hal yang ada di kepala. Satu-satunya jenis popularitas yang kuinginkan hanya sebagai penulis. Seperti Tere Liye atau Asma Nadia misalnya. Sayang, hingga detik ini Mayleni Raviska baru berhasil jadi pemimpin redaksi level majalah kampus.


Baru saja duduk, seorang pelayan menghampiri dan memberikan buku menu. Namun, rasanya selera makan tak muncul sedikit pun saat ini. Maka segelas teh tawar dan air jeruk hangat dengan gula satu sendok kecil, kutulis di daftar pilihan. Ah, ternyata minuman favorit Azka itu masih terekam dalam memori. Bisa besar kepala dia. Sebenarnya wajar jika masih banyak hal yang tercatat rapi dalam benak, mengingat kebersamaan kami yang tak sebentar.


Azka Putra Davana. Aku mungkin terlalu jahat padanya. Laki-laki itu telah menyatakan perasaan sejak di kelas dua SMA. Namun, hingga hari kelulusan tiba, tak pernah ada jawab yang ia dengar. Tidak pula sebuah penolakan.


Sejak hari itu, selalu ada sosoknya di dekatku. Menemani makan di kantin saat jam istirahat, menunggu saat aku latihan paskibra, dan hampir setiap hari mengantar pulang ke rumah selepas jam sekolah.


Hingga hari itu tiba. Tiga pekan sebelum ujian nasional, kuajak Azka ke taman sekolah. Posisinya persis di belakang perpustakaan. Saat itu jam istirahat.


"Maaf, Ka. Selama ini, kita 'kan nggak pernah ada komitmen apa-apa. Selain itu, ujian udah tinggal beberapa hari lagi," ucapku lirih.


Setelah itu hening untuk beberapa saat.


"Terus, kenapa?" tanya Azka yang tampak bingung.


"Biar sama-sama fokus mempersiapkan ujian, kayaknya kita jalan masing-masing dulu aja, ya," ucapku ragu sambil menghindari tatapan mata laki-laki itu.


"Sampai kapan?"


"Ya, lulus."


"Jadi, sejak hari ini, sampai kita lulus nanti, aku nggak boleh deket-deket sama kamu?"


Aku diam dalam gelisah. Memilin ujung jilbab dengan dua tangan untuk menutupi banyak gejolak rasa. Aku bahagia bersamanya. Nyaman berada di dekat Azka. Namun, sisi lain hati ini membisikkan kata. Dosa. Ditambah lagi mengingat sikap ayah yang menunjukkan ketidaksetujuannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 19, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Stasiun KeduaWhere stories live. Discover now