Telepon Genggam

30 3 0
                                    

Sinar terang masuk melalui jendela-jendela kamar menandakan mentari telah terbangun dari tidurnya. Tetapi tidak dengan pemilik kamar, Laura. Tiba-tiba suara berat membangunkannya, "Laura, bangun, nak. Sekolah"

Laura mengedipkan matanya berkali-kali berharap penglihatannya dapat segera pulih. Begitu pulih, kedua bola matanya langsung beralih menuju jam bulat-pipih yang terpajang di dinding kamar. Beruntung baginya jam masih menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit. Lain cerita kalau jarum panjangnya menunjukkan angka 11. "Sarapandulu, nak. Ngapain buru-buru?" tanya Ayah melihat Laura tergesa-gesa. Tanpa menoleh sedikitpun Laura menjawabnya cuek

"Sudah hampir telat, nanti saja"

"Sedikitsaja. Nantilesu"

Ia menoleh sebentar ke meja makan. Melihatmakanan apa saja yang tersedia. Dari mimik wajahnya nampak jelas bahwa ia sama sekali tak tertarik dengan makanan-makanan itu. Ikan asin, telur dadar dan sepiring nasi. "Semua sampah ini harus dimakan?" ujar Laura sinis.

"Syukuri apa yang ada, nak. Hanya ini satu-satunya makanan kita. Bukankah ..."

Belum selesai ia berbicara, Laura lantas memotongnya

"Iya, tua bangka. Berisik! Antar aku ke sekolah!" Perintahnya tanpa ada rasa bersalah sama sekali.

Dengan wajah memelas, Ayah menurutinya. Mengherankan bukan? manusia macam apa ia? mempunyai tingkat kesabaran yang tinggi.

Motor Astrea C100 keluaran tahun 1992 adalah satu-satunya kendaraan yang mereka punya. Kendaraan itu pula yang menjadi alasan bagi Laura mengapa ia tak mau diantar hingga gerbang sekolah. Malu, katanya.

Di sekolah, Laura memilih menjauh dari pergaulan. Bukan karena ia takut bersosialisasi, bukan. Tetapi, karena ia minder. Pasalnya, satu-satunya siswa di kelas itu yang tak memiliki handphone adalah Laura. Bayangkan saja, seharian mereka berbincang tentang sosial media. Lantas, ia bisa apa?

Pertanyaannya, seberapa lama ia mampu menahan diri dari pergaulan? Ah, pastilah tak lama lagi. Jalani saja. Meskipun ia sendiri juga ingin cepat-cepat lulus dari sekolah bajingan ini karena selain menahan diri dari pergaulan, ia juga harus menahan emosi akibat perilaku teman-temannya.

"Hey! anak kurang mampu. Abis nyuri makanan dimana?" sahut salah seorang anak ketika Laura melintas. Sontak, Laura yang mendengarnya pun tersulut emosinya. Sejurus kemudian, Laura berhasil merengkuh kerah baju milik anakk tersebut dan mendorongnya ke dinding.

"Ucapkan sekali lagi bisa?" tanya Laura

Respon Laura tentu saja membuat siswa lainnya terkejut. Dalam sekejap, ruang kelas yang tadinya kosong ditinggal penghuninya ke kantin menjadi penuh sesak. Siswa-siswa itu mengelilingi mereka berdua.

"Sudah berani sombong, ya? dasar orang miskin!" teriak salah seorang siswa.

"Miskin, apa yang bisa disombongkan?" sahut yang lainnya mengundang gelak tawa. Kecuali Laura tentunya. Diikuti lemparan kertas yang memang ditujukan kepada Laura. Tangis Laura pun pecah. Di tengah tangisnya, ia berfikir, semua ini adalah salah Ayahnya.

Sementara itu, sepulang dari membajak sawah Ayah membeli nasi pecel yang konon katanya ter-enak di Kota Solo. Mahal memang, upahnya pagi ini saja tak cukup untuk membeli dua bungkus. Biarlah perutku tak terisi, yang penting putriku bisa makan, fikirnya.

Dengan penuh semangat ia menjemput Laura dari sekolah. Dicarinya wajah ayu yang mirip dengan Ibunya tersebut. Namun, bukan wajah ayu yang ia temukan, melainkan wajah penuh sendu. "Ada apa, nak?" tanya nya perlahan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 02, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

09PMWhere stories live. Discover now