Anak yang Malang - Ibu yang Malang.

170 7 2
                                    


Jam enam pagi. Lampu-lampu rumah telah padam, tirai-tirai telah dibuka, terdengar suara dencingan piring didalamnya menandakan penghuninya telah bangun-tidur-untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa. Termasuk di rumah Rayyan.

"Rayyan hari ini sekolah, kan? Makan banyak-banyak, yah! Biar jadi anak yang pintar" ujar ibunya.

"Iya, bu"

"Ini, ibu masakin bubur ayam. Rayyan suka?"

Rayyan hanya membalasnya dengan senyuman kecil di wajah. Senyuman tulus dari seorang anak terhadap Ibunya.

Sebenarnya, bukan hanya ada Rayyan dan Ibunya yang ada di meja makan. Tetapi juga, ada Ayahnya yang sedari tadi memerhatikan tingkah laku wanita itu yang menurutnya aneh. Raut wajahnya pun menunjukkan bahwa ia tidak nyaman berada disitu.

"Bang, nanti tolong antar Rayyan pergi ke sekolah, ya? Rayyan kan juga ingin diantar oleh ayahnya" kata wanita itu kepada suaminya. Mana mau lelaki itu, sekarang saja sudah hampir terlambat untuk pergi ke kantor, ditambah mengantar Rayyan? Ah, bisa mati ia dimaki oleh bosnya.

"Yasudah kalau abang nggak mau, biar aku saja" wanita itu mengalah. Lelaki itu? Mana peduli ia. Bodo-amat, satu kata menggambarkan keseluruhan sikapnya terhadap Rayyan. Ayah macam apa ia? Entahlah.

Di Angkutan umum, suasana tak banyak berubah dari yang lalu. Penumpangnya didominasi oleh pelajar-pelajar atau pegawai-pegawai kantoran yang sama-sama hampir terlambat. Pelajar-pelajar itu kebanyakan berasal dari satu sekolah yang sama dengan Rayyan. Sekilas, tak ada yang berbeda dari Rayyan dengan teman-temannya. Hanya saja, Rayyan seperti tak dianggap oleh temannya, tak ada satupun yang ingin bergaul dengan Rayyan. Tapi tak masalah, masih ada seorang ibu yang penyayang serta penuh perhatian menemaninya.

"Rayyan, ini uangnya. Ingat! Jangan boros, yah!" perintahnya dengan intonasi yang lembut seraya mengeluarkan Rp.10.000 dari dalam dompet lalu memberinya kepada Rayyan. Obrolan tadi rupanya memancing perhatian penumpang yang ada di sebelah mereka, penumpang itu memerhatikan tingkah laku mereka berdua seolah-olah ada yang salah.

"Ini anak saya, tahun ini ia duduk di bangku kelas 11 SMA" Ibu Rayyan menjelaskan sambil menyungging senyum yang manis. Penumpang itu membalasnya dengan senyum juga. Tapi, senyum yang teramat-sangat aneh, seolah terpaksa.

Tibalah mereka di sekolah. Benar saja, bel sudah berbunyi. Hampir saja mereka tak dapat masuk melalui pintu gerbang andai saja penjaganya tak menyadari keberadaan Ibu Rayyan.

"Pak! Tunggu dulu, pak!" teriak Ibu Rayyan kepada penjaga itu. Ia lalu melangkah secepat yang ia bisa.

"Maafkan anak saya, pak! Anak saya terlambat" bujuknya

Lalu ia meminta Rayyan agar meminta maaf kepada penjaga itu.

"Um, Rayyan minta maaf ke guru, yah!"

Rayyan mengulurkan tangannya berniat menyalimi penjaga tersebut. Namun, tak direspon sama sekali, malah penjaga itu menatap Ibu Rayyan dengan sinis.

"Yasudah, Rayyan, kamu langsung masuk kelas saja, nak. Hati-hati!" perintah ibunya.

Rayyan menyalimi ibunya lalu bergegas masuk ke kelas sebelum pelajaran di mulai. Melihat anak semata wayangnya melangkah lebih jauh ke dalam lingkungan sekolah, timbul rasa cemas di dalam hatinya sebagai seorang ibu.

"Pak, kalau ada apa-apa seperti anak nakal atau berandalan, tolong hubungi saya, yah, pak!" pintanya untuk yang terakhir kali.

Tetap saja penjaga tersebut tak merespon dan menatapnya dengan tatapan sinis. Merasa tak nyaman, ia pun beranjak pergi sebelum terjadi apa-apa.

09PMWhere stories live. Discover now