Dibawah Jam Gadang

78 4 0
                                    

Malam ini, di sudut kota Padang. Masih teringat jelas bagaimana mulutmu mengucapkan suatu kalimat yang takkan pernah kulupa dan selalu ku nanti pembuktiannya.

"Aku akan menikahimu"

Aku, atau kita yang kala itu masih berumur 14 tahun melintas lorong kelas 9 ketika jam pulang sekolah sambil menghadap ke langit.

"Awannya bagus, kau suka?" tanya Nial.

"Iyaaa !" jawabku

"Mau aku ambilin?"

Aku sedikit tertawa mendengarnya, entah bagaimana ia bisa mengambil awan.

"Mau, caranya?" jawabku lagi

Lalu Nial berteriak

"Awan! Turun lah, aku mau satu buat puteriku ini!"

"Heh !" Ucapku bermaksud menegurnya sembari tertawa

"Nanti didengar orang" Aku menambahi

Ia menoleh kepadaku sebentar, lalu melanjutkan teriakannya

"Ada orang disini?! Bantu aku mengambil awan!" Kali ini suaranya lebih nyaring dari yang sebelumnya.

"Nial ! Ha ha ha"

Benar, bahagia itu sederhana.

Nial terdiam beberapa saat melihat tawaku, lalu ia ikut tersenyum. Kemudian, yang terjadi adalah percakapan yang tak pernah kusangka selama hidupku sekaligus membuatku merasa jadi perempuan paling beruntung se-dunia.

"Kenapa senyum?" tanyaku

"Aku suka"

"Suka apa? suka senyum? Ih, senyum sendiri nanti jadi gila"

"Bukan

"Jadi?"

Kemudian ia menjawab pertanyaanku dengan panjang lebar. Aku harap lebih panjang dari itu karena aku suka mendengarkan ia berbicara.

"Aku suka tawamu, aku suka matamu, aku suka hidungmu, aku suka bibirmu, aku suka pipimu, aku suka semua yang ada di hatimu dan aku suka semua yang terlontar dari mulutmu"

Ada keheningan beberapa saat sebelum ia melanjutkan

"Oh, atau singkatnya aku suka kamu, aku mau kamu menjadi milikku"

Kaget? Iya. Tapi agak menggelikan juga mendengar seorang Nial yang terkesan cuek berkata seperti itu. Tak dapat dipungkiri, aku juga menginginkannya. Tapi, bukankah ini terlalu cepat?

"Bukan sekarang, Nial"

"Kenapa?" tanyanya dengan perasaan kecewa sekaligus penasaran, dapat dilihat dari wajah dan suara sumbangnya.

"Nggak boleh pacaran" jawabku dengan alasan yang bisa diterima, kurasa.

Nial terdiam serta berpikir cara bagaimana ia dapat memilikiku.

"Kalau begitu..."

Ia lagi-lagi terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan.

"Aku akan menikahimu"

...

Dinginnya suhu kota Padang malam ini tak lantas membuat ingin terlelap begitu saja. Segera aku mengambil jaket kulitku lalu pergi ke suatu tempat yang aku rasa akan selalu kuingat suasananya. Aku ingin memecah kerinduan yang telah kupendam sejak lama, karena tepat sehari setelah Nial mengikrarkan janjinya itu, ia dan keluarganya pindah ke Jerman. Tak usah tanyakan aku bagaimana, bak dilempar tinggi-tinggi ke atas lalu dihempas begitu saja. Tapi setidaknya, Nial telah mengungkapkan perasaannya padaku yang tiap kali aku merasa kecewa lantas hilang begitu saja ketika mengingatnya.

Dua malam yang lalu, Nial menghubungiku lewat akun twitternya, dia bilang dia telah sampai di kota Padang setelah menyelesaikan studi S3 nya di Jerman. Seperti anak kecil yang diberi es krim favoritnya, itulah aku saat diberitahu. Kebahagiaanku bertambah tatkala ia meminta ku untuk menemuinya dibawah Jam Gadang hari ini.

Di bawah Jam Gadang...

Aku memesan taksi online agar lebih praktis, setibanya disana aku langsung mencari keberadaannya, pintu utara hingga selatan maupun barat hingga timur telah kutelusuri.

Di bawah Jam Gadang...

Telepon genggamku berbunyi

Notifikasi twitter

"Maafkan aku sedikit telat, tapi bisakah kau membalikkan badanmu agar aku bisa melihat cantikmu lebih leluasa?"

Disitu, ia disitu, seorang laki-laki jangkung dengan kulit bersih dan rambut yang acak-acakan, memandangku sambil tertawa lalu menghampiriku.

Aku memaku tak berdaya...

Sudah tak asing wajahnya bagiku, wajah yang menjadi alasan bagiku untuk bersemangat berangkat sekolah di pagi hari, wajah yang selalu 'berhasil' menenangkanku ketika isak tangisku pecah. Kelak, wajah itu juga yang pertama kali akan kulihat ketika bangun tidur.

Hanya punya waktu beberapa detik untuk bertatap-tatapan sebelum ia memulai percakapan.

"Maafkan aku" pintanya

"Untuk apa?" hanya untuk memastikan.

"Meninggalkanmu" jawabnya singkat.

"Nggak apa-apa"

Lalu ia memberiku sebuah benda berbentuk kotak. Sekilas, mirip kotak cincin yang ada di toko-toko. Tapi, ternyata itu adalah awan yang terkurung didalamnya.

"Ini awan?" tanyaku penasaran.

"Iya, ha ha ha" tawanya masih sama hangatnya dengan yang dulu.

" Tau alasanku belajar jauh-jauh ke Jerman?" seolah mengajakku bermain tebak-tebakkan, aku rasa.

"Demi awan?" aku berusaha menebak.

"Salah, lebih tepatnya demi kamu"

Huh, Nial masih sama centilnya dengan yang dulu.

"Itu alasan pertama, kau tahu alasan kedua?" tanyanya lagi.

Mana aku tahu karena aku tak dapat kabar dari Nial sedikitpun saat ia di Jerman, meskipun aku mau.

"Apa?"

"Agar kau berada di tangan yang tepat"

"Maksudnya?"

Belum sempat aku mencerna kata-katanya, sejurus kemudian, ia mengambil cincin indah yang berkilau dari sakunya lalu berkata "Puteri, will u marry me?"

.

.

.

.

.

.

.

"Iya" singkat tapi bahagianya berlipat-lipat.

Itulah ia, menepati janjinya dibawah Jam Gadang. Tak ada kalimat yang dapat menjelaskan dirinya kecuali 'such a sweet boy, I thought'

Di bawah Jam Gadang, memori indahku tersimpan.

Tamat.

09PMWhere stories live. Discover now