Guru

48 1 0
                                    


Tugas seorang guru bukan saja untuk mengajar, Tetapi juga untuk mendidik ...
Terbayang lagi di kepalaku kenangan 15 tahun lalu itu ...

Guru Hanafi. Guru paling muda di SMA Negeri 99, usianya baru 25 tahun. Karena usianya itulah, tak sedikit siswa yang kurang-ajar terhadapnya, termasuk kami. Ia mengajar banyak mata pelajaran di sekolah ini, salah satunya ialah Fisika, pelajaran yang ku benci.

Pagi itu, aku dan teman-temanku, Adib dan Azzam, seperti biasa, menghisap rokok di belakang kantin sekolah. Di tempat itu lah, kami rasa paling aman untuk melakukan kegiatan yang sudah jelas melanggar aturan sekolah tersebut. Batang demi batang dihabiskan, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 8.15. Sebenarnya bel sudah berbunyi sedari tadi, tetapi begitulah. "Hanya bel sekolah, bukan sirine tornado" ujar Adib, lalu kami bertiga tertawa.

Sebungkus rokok sudah kami bertiga habiskan, segera kami bergegas masuk ke kelas tuk mengikuti pelajaran yang membosankan itu. Tak perlu bagi kami untuk merapikan pakaian yang kusut. Siapa peduli? tak ada yang berani memarahi kecuali kepala sekolah.

Tap. Tap. Tap. Suara langkah kaki kami menyusuri lorong kelas yang sunyi karena sebagian besar siswanya telah masuk kelas. Tibalah kami di depan kelas 12. Pintunya terbuka, berbeda dengan kelas yang lainnya. Sudah menjadi ciri khas Pak Hanafi jika mengajar pintu nya selalu dibuka. Agar udara segar, alasannya.

Tanpa permisi atau salam, kami menyelonong masuk kelas. Kala itu Pak Hanafi sedang membagikan hasil ulangan Fisika minggu lalu sebelum ia menyadari kedatangan kami dan menghentikan tugasnya sebentar.

"Arka, kamu lihat saya disini, tidak?" tegurnya kepadaku.

"Ada masalah apa lagi sih, pak?" jawabku kesal.
Ia sempat terdiam beberapa saat sambil melihat pakaian ku dari bawah ke atas. Lalu melanjutkan

"Tak ada masalah, ini, kamu gagal lagi di ulangan minggu lalu, kenapa?" tanyanya sembari memberiku sebuah kertas. Diatasnya tertulis angka 3 menggunakan pulpen bertinta merah.

"Bapak yang nulis angka 3 disini, malah saya yang ditanya kenapa. Bapak bercanda?" aku menanyakan balik dengan kasar.

"Tolong hormati saya sebagai gurumu" pintanya.

"Hormat? Ayahku saja tak menghormatimu, untuk apa lagi aku menghormatimu? Hah?" jawabku sambil membentaknya.

"Mencari masalah dengan teman saya, pak?" sahut Azzam

"Apa? pukul? rotan? Ingat ya, pak! Ayahku pengacara. Ayahnya Arka juga pengacara. Sekali saja Bapak sentuh kami, jangan harap bebas dari penjara!" ancam Adib.
Ia tak bergeming, mulutnya terkatup rapat-rapat seakan menahan semua kekesalan yang ada pada dirinya terhadap kami.

"Lihat? siapa yang takut sekarang? mana berani dia" sambung Azzam. Kami pun duduk di kursi kami masing-masing.

Barangkali ia kesal terhadap tingkah laku kami. Tapi begitulah Pak Hanafi, rasa tanggung jawab sebagai seorang guru lebih besar dari rasa kekesalannya terhadap kami.

Tibalah ulangan yang selanjutnya. Soal-soalnya sama semua menurutku, susah. Kepalaku celingak-celingukan mencari keberadaan Pak Hanafi. Setelah aku rasa aman, barulah aku melancarkan aksiku.

"Dib, nomor 3 dong!" bisikku pelan

"Mana aku tahu!" balas Adib.

"Sekolah bolos mulu, sih!" cetusku kesal.

Adib tak tahu, sekarang Azzam.

"Zam, nomor 3!"

Beruntunglah Azzam tahu, Ia lalu menunjukkanku kertas ulangannya. Sial, di saat itu juga, Pak Hanafi muncul di belakang.

09PMWhere stories live. Discover now