Abstrak 2 - God, Help Me!

14.9K 1.6K 83
                                    

Katakan Diandra gila, bagaimana ia bisa jatuh cinta pada seseorang hanya dalam sekali pandang. Tak masuk akal, gila. Tapi itulah yang kini Diandra rasakan. Detik pertama ia bertatapan dengan sosok Rashaun, jantung Didi berdetak cepat. Persis seperti dulu saat Didi merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Pada cinta monyetnya. Didi bukan gadis awam yang tak bisa menetukan rasa apa yang bekecamuk di hatinya.

Hingga kini, ia tak bisa menghilangkan sosok Shaun dari pikirannya. Diandra masih saja terus terbayang akan wajah tampan nan tegas Shaun. Bagaimana pria itu menegur dirinya dan Maria. Hingga keduanya harus bergegas kembali ke meja kerja Maria. Bahkan hingga sosok Shaun menghilang di balik ruangan Lani, Manajer mereka.

Rashaun Sekala, pria yang merupakan paman dari sahabatnya. Direktur di perusahaan mereka. Dan hal tergila, Rashaun bukan pria muda seperti lelaki kebanyakan yang Didi temui. Bahkan mungkin usia pria itu tak jauh dari ibunya. Tapi akal sehat Diandra seolah tumpul kala bersinggungan dengan pria tersebut.

"Di, mau pesan apa?"

Bahkan Maria yang bertanya padanya perihal menu makan siang tak Didi gubris. Gadis itu masih asyik berkelana dengan pikirannya akan Shaun. Membuat Maria gemas pada sahabatnya dan mencubit pipi gadis itu hingga Didi berteriak kesakitan.

"Sakit, Maria!" keluh Didi.

"Lo meleng terus. Gue tanyain daritadi mau makan apa nggak dijawab!" ungkap Maria gemas. "Lo mikirin apa sih?"

Diandra gelagapan. Tak mungkin baginya mengatakan pada Maria bahwa kini Didi tengah memikirkan Shaun. Apa yang akan dikatakan Maria jika tahu sahabatnya telah jatuh cinta pada sang paman. Terlebih Didi ingat bagaimana pagi tadi Maria memperingatkannya untuk tak jatuh pada pesona Shaun.

"Ayam goreng. Aku mau ayam goreng." Diandra mengucapkan hal yang bertentangan dengan pertanyaan Maria.

"Oke, lo tunggu sini biar gue yang pesan."

Maria berjalan menjauh. Diandra melambaikan tangannya pada Maria yang kini melangkah ke tempat pemesanan. Setelahnya Diandra memainkan ponselnya sembari menunggu kedatangan Maria. Sampai matanya menangkap suatu pergerakan di pintu masuk kantin kantor. Seketika Diandra menahan napasnya.

Di sana, Shaun tengah berjalan bersama Lani dan beberapa petinggi kantor. Mereka tampak berbincang sembari memasuki kantin. Mengambil tempat duduk hingga seorang petugas datang menghampiri. Diandra bisa melihat bagaiman bedanya perlakuan terhadap petinggi di kantor ini dan karyawan biasa sepertinya.

Tubuh Diandra seketika membeku kala mendapati tatapan tajam Shaun padanya. Mata setajam elang itu mengunci pandangan Diandra. Membuat gadis itu bernapas pelan-pelan. Padahal posisi mereka cukup jauh. Tapi Diandra jelas tahu bahwa saat ini Shaun tengah menatapnya dengan intens.

"Ini pesanan lo."

Terberkatilah Maria karena gadis itu menyelamatkan Diandra dari tatapan tajam Shaun. Diandra akhirnya bisa menggerakkan tubuhnya yang sejak tadi kaku. Gadis itu menatap Maria dengan gembira. Sembari berterima kasih akan menu makan siangnya yang tadi dipesankan Maria.

"Lo lihat apa sih daritadi ngelirik terus ke arah sana?"

Diandra terperanjat. Terlebih saat Maria mengikuti ke mana arah pandangannya. Sekejap saja tatapan tajam Maria sudah menghujamnya.

"Ngapain lo ngelihatin Pak Shaun?" tanya Maria penuh selidik.

"Eh ... itu, cuma penasaran kok. Kenapa petinggi seperti mereka makan di kantin karyawan begini."

Diandra menggigit bibirnya karena penjelasan super konyol yang dilontarkannya. Memangnya salah petinggi kantor makan siang di tempat ini?

"Kantin kantor kan milik perusahaan. Jadi siapapun boleh makan di sini. Lagian ya, mereka memang terbiasa makan siang di sini kok."

Didi menghela napas pelan. "Merakyat ya?" cibirnya.

Maria tak begitu peduli dengan kalimat sindiran yang dilontarkan Didi. Gadis itu memilih menghabiskan makan siangnya. Karena sebentar lagi waktu istirahat akan berakhir.

"Lo bisa pulang sendiri kan, Di? Atau ... lo mau bawa mobil gue? Tapi gantinya lo jemput gue jam bubar kantor, gimana?" Maria menaikkan sebelas alisnya.

"Enak aja. Mending aku pulang naik taksi!"

"Ya udah kalau gitu hati-hati ya. Sampai ketemu besok."

Maria memeluk tubuh Diandra kala mengantar gadis itu ke lobi kantor. Usai makan siang, Diandra memang tak perlu lagi kembali ke ruang kerjanya. Maria sudah cukup membekalinya perihal tugasnya mulai besok.

"Masuk sana, aku bisa tunggu taksi di sini kok. Nanti kamu telat masuk dimarahin lo." Diandra mengusir Maria. Meski berat hati, gadis itu akhirnya kembali ke kantornya. Meninggalkan Didi seorang diri menunggu kendaraannya.

Sepeninggal Maria, Diandra berniat membuka satu aplikasi online untuk memesan kendaraan. Sampai ia mendapati sebuah mobil mewah berhenti tepat di hadapanya. Membuat gadis itu mengernyit bingung.

Abstrak Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang