"Hei, ngapain sih kamu nggak mau diam?!" Pertanyaan Aric mengagetkanku.

"Lagi nyari cara buat kabur. Eh ... ups!" Duh apes! Pake acara keceplosan lagi.

"Udah nemu belum?"

"Maksudnya?" Aku mengernyitkan dahi sambil menatapnya heran. Aku bingung kenapa si jutek ini bertanya seperti itu padaku.

Kulihat Aric mengeraskan rahangnya. Mungkin dia kesal padaku, tapi kesal untuk apa? Wajar kan aku bertanya.

"Cara buat kabur!" tandasnya.

"Belum. Masih mikir," balasku sambil memutar otak mencari cara kabur yang paling halus.

"Cepet cari! Saya sudah pegal nih," Aric memijat lengannya. Sepertinya dia ingin menunjukkan kepadaku bahwa dia sudah bete berada di dalam sini.

"Perasaan dari tadi kita berdiri untuk berfoto-foto, kenapa jadi tangan lo yang pegal?" celetukku.

"Banyak omong kamu. Sudahlah, cepat cari cara untuk pergi dari sini!"

Seenak jidatnya Aric memerintah. Aku sengaja mendekatkan wajahku ke telinganya supaya dia bisa mendengarkanku dengan jelas. "Sabar. Emang lo pikir cari cara kabur dari kerumunan orang sebegini banyaknya gampang?!"

Ahaiii! Ide cemerlang tiba-tiba melintas di benakku.

"Aaargh! Sayang, kaki saya kram nih. Aduuuh, sakit!" pekikku berpura-pura.

Aric masih bengong. Dia justru menatapku heran. Cowok ini begonya kebangetan. Ini kode. Masa nggak ngerti sih? Aku kemudian mengedipkan sebelah mata indahku yang sudah ditambal dengan bulu mata palsu anti badai. Baru deh dia mengerti. Dasar lemot!

"Oh, Cintaku. Kaki kamu sakit, ya?" Aric merankul bahuku.

Busyet dah nih cowok kebangetan lebai. Aku ingin tertawa sendiri mendengar celoteh cowok jutek ini. Meskipun begitu, aku tetap berpura-pura kesakitan. "Iya, nih. Sakit banget!"

Melihat reaksiku dan Aric, Lincess angkat bicara. Sepertinya dia mengerti sandiwara kami berdua.

"Maaf ya, para tamu undangan. kaki pengantin wanitanya kram. So, sekarang mau dilempengin dulu di belakang." Lincess mengumumkan. "Ayo, Mas Aric gendong tuh pengantinnya," titahnya dengan lagak manja.

Alaric melebarkan matanya seketika. Dia kemudian menatapku dengan tatapan tajam yang mencabik-cabik. Ralat, itu berlebihan. Aric hanya memelototiku. Namun, aku tidak peduli. Aku melemparkan satu isyarat lagi supaya si jutek ini mengerti.

"Iya, Honey. Ayo gendong saya! Kaki saya sakit banget." Aku sengaja mengalungkan kedua tanganku ke leher Aric. OMG! Pria ini wangi banget. Aku hampir klepek-klepek hanya dengan mencium aroma parfumnya. Tidak salah kan aku melakukan hal ini? Toh, secara hukum dan agama, aku sudah sah menjadi istrinya.

"Cepat gendong! Lemot amat sih,' bisikku.

Aric lalu membopongku ke private room. Setibanya di sana Aric menjatuhkanku ke sofa.

"Ough! Sakit, Dodol!" Bentakku karena kesal.

"Lagian siapa suruh minta digendong segala," balasnya dengan nada pongah. "Sekarang bagaimana?"

"Sekarang gue mau ganti baju, terus pulang mumpung ortu lo lagi sibuk sama tamunya," jawabku.

"Saya ikut."

"Ogah! Lo pikir karena kita tadi sudah menikah, lantas lo bisa begitu aja mau ikut gue pulang? Kita kan menikah cuma pura-pura doang."

Aric bersedekap. Kulihat raut wajahnya kembali bertransformasi menjadi lebih serius. "Kamu pikir saya mau ikut pulang ke rumah kamu?"

Ya, memang sih tadi aku berpikiran begitu. Bodoh.

"Ya, kali aja lo mau ngikut gue pulang," candaku untuk menutupi rasa malu.

"Jangan mimpi saya mau pulang ke rumah kamu," tepisnya tajam dan membuat panas telingaku. "Kamu kan tukang ojek. Antarkan saya pulang ke rumah saya," imbuhnya.

"Oh."

"Saya bayar. Saya nggak mau punya utang apalagi sama tukang ojek."

"Percaya," ejekku kesal.

Aku segera keruang Make up di mana tadi Linces dan kedua anak buahnya mendandaniku, lalu berganti pakaian. Auw! Masalah baru muncul. Bagaimana dengan riasan tebal yang masih menempel di wajahku ini, sedangkan aku harus cepat keluar dari sini? Aku tidak kehabisan akal. Aku segera mengenakan masker penutup mulut dan hidung setelah melepas semua aksesoris di rambutku. Beres. Sayangnya, Aric masih duduk di sofa di luar ruang make up sambil bengong.

"Heh, katanya mau ikut bonceng. Ayo cepat mumpung semua orang sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing!" ajakku.

Aric menatapku selama beberapa saat dan nyaris membuatku baper. Untungnya dia segera bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arahku dengan wajah yang kupikir sengaja dibuat jutek. Oh, mungkin karena dia sedang sedih calon istrinya membatalkan pernikahan mereka.

Aku dan Aric akhirnya berhasil keluar dari gedung itu. Kami pun segera menuju ke area parkir dan menemukan motor kesayanganku. Aku lalu memberikan helm penumpang pada Aric. Namun, sepertinya Aric tidak tertarik untuk naik ke motorku. Dia seperti memandang aneh, rendah, atau apa pun, atau mungkin bukan kelasnya naik ojek.

"Ngapain lo berdiri di situ terus? Jadi mo ikut nggak?!" Aku greget banget dengan pria satu ini. Kebanyakan mikir.

"Naik motor butut ini?" tanyanya sambil menunjuk motor bututku.

"Jadi mau ikut nggak?!" tegasku sekali lagi, "kalau nggak mau, di depan sana banyak taksi," tambahku sambil menunjuk ke depan ke gerbang masuk gedung.

Walaupun tampak ragu dan jijik, mungkin, Aric akhirnya naik dan duduk di belakangku sebagai penumpang. Resek banget sih orang ini. Biar dikata butut nih motor, tapi sejarah dan kenangannya bisa ngalahin harga sebuah Lamborghini.

"Ke mana kita?" tanyaku di tengah perjalanan.

"Ke Pondok Indah."

Aku mengantar Aric ke komplek hunian elite yang kabarnya hunian ini khusus dihuni orang-orang kaya. Aku memberhentikan laju motorku sesuai perintah Aric. Aku melihat rumah yang sangat besar dan indah. Bagus sekali rumahnya. Luas halamannya saja sepertinya sepuluh kali lebih luas dari rumahku.

"Heh! Jangan pura-pura hilang ingatan, ya. Mana ongkosnya?!" teriakku saat Aric dengan pura-pura begonya langsung menuju gerbang rumahnya.

"Dasar mata duitan." Aric kembali mendekat dan memberikan selembar uang seratus ribuan. "Nih, ongkosnya. Lunas."

Kuterima dengan senang hati. Alhamdulillah, rejeki anak saleha. Hari ini aku menang banyak. 

=======

Bersambung

Alie Gio




You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 01 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Terpaksa Menikahi Driver Ojol (Cinta di Ujung Rindu)Where stories live. Discover now