End (Wattpad Version)

2.8K 462 114
                                    


Marah.

Itu satu perasaan pasti yang menggelegak di dada Jimin sekarang. Otaknya mendidih menyaksikan apa yang dilihatnya di depan mata. Polisi menunggu di luar rumah karena Jiyeon mengancam dengan sebuah pisau dapur diletakkan di leher putrinya. Berkali-kali Abel mencoba melepaskan diri. Wajahnya sudah basah karena menangis dan memohon supaya tangannya dilepas. Jiyeon menggenggam pergelangan tangan kurus itu terlampau kuat.

"Apa yang kaurencanakan sekarang, Ji?" Jimin bersuara rendah, mencoba menahan amarah sebisa mungkin. "Kau sudah dikepung. Kembalikan Abel padaku dan biarkan semua ini selesai di sini."

Jiyeon mendengus menahan tawa. "Kembalikan, kau bilang? Bagaimana kalau kukatakan, kembalikan hidupku. Bisa kau lakukan itu?"

Jimin menatap Jiyeon lurus dan tajam. Angin yang beku meniup belakang lehernya cukup kuat. "Kebahagiaanmu bukan tanggung jawabku. Kau sendiri yang membuat hidupmu seperti ini."

Jiyeon memiringkan kepala dan tersenyum."Oh, ya?"

"Ibu, lepas. Tanganku sakit."

"Diam."

"Lepaskan Abel, Ji. Bukankah sudah cukup?"

Ya. Bukankah sudah cukup? Jimin bahkan kehilangan kata-kata. Hatinya pedih melihat lebam biru di pipi Abel. Putri tersayangnya sudah kehilangan banyak berat badan. Tungkainya tak lebih dari kulit yang menempel pada tulang. Matanya sembab. Sangat kentara bahwa keceriaan direnggut paksa dari wajahnya. Jimin hanya bisa membayangkan apa yang sudah wanita gila ini lakukan pada anaknya. "Aku tidak membesarkan Abel untuk kauhancurkan, Hwang Jiyeon. Kalau kau bahkan tak bisa menjadi seorang ibu, kenapa repot-repot berusaha?"

"Well, aku bebas melakukan apapun yang aku mau. Aku ibunya."

"Dan kau merasa berhak atas itu?" Jimin mengerling ke lebam di wajah Abel. "Apa yang kaulakukan padanya?"

Senyum mengerikan terkembang di wajah Jiyeon. "Anak nakal tahu dia pantas dihukum. Bukan begitu, Nak?" Namun Abel bahkan tak mendengar sama sekali. Dia masih sibuk berusaha melepaskan diri, menatap putus asa pada ayah yang sudah sangat dirindukan dan hanya berjarak beberapa meter tapi tak bisa juga disentuhnya. "Bagaimana kabar Hanna?" Jiyeon bertanya lagi. "Apa masih hidup?"

"Berhenti main-main. Jatuhkan pisau itu dan berikan Abel padaku."

Jiyeon mendesis dan mata disipitkan. Dia mendekap Abel lebih erat, mengarahkan mata pisaunya ke bawah dagu anak itu. "Jangan galak-galak, Jim. Nanti Abel takut."

"Sepuluh menit tak kausudahi ini, polisi akan mendobrak masuk. Jangan paksa mereka melukaimu."

Jiyeon memberi tatapan menyelidik. "Memangnya kenapa kalau terluka? Masih peduli padaku?"

"Apa lagi yang kau mau?"

Jiyeon seolah berpikir keras, memiringkan kepala beberapa kali lalu berdecak pelan. "Tidak tahu juga, sih. Sudah lelah sebenarnya. Anak ini sulit diatur. Membesarkannya sungguh membuang-buang uang ternyata. Tapi mau dibunuh, kasihan."

"Kau gila."

"Mau dibuang, sayang. Mungkin sebaiknya kujual saja dia, ya. Tapi masih terlalu kecil. Lalu dipikir-pikir lagi, mungkin tidak ada salahnya juga ada dia di sini. Jadi ada tempat untuk pelampiasan kalau sedang kesal. Apalagi kalau sedang kesal pada eksistensimu."

"Kau tahu berapa lama kau akan mendekam di penjara karena ini?" Jimin menguatkan suara, mengambil satu langkah. "Kyungjoon akan mendekam di sel seumur hidupnya. Pikirkan nasibmu. Penculikan, penyerangan." Jimin lalu memandang Abel dengan hati terluka. "Kekerasan pada anak di bawah umur."

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now