Dua Puluh Satu

3.7K 539 107
                                    

{unedited}

Hanna mengikuti Jimin di belakang, berderap menuju lift secepat mungkin. Setelah pintu besi itu tertutup dengan suara dentingan, Jimin berbalik secepat kilat, menggenggam tangan Hanna dengan tatapan khawatir.

"Apa dia mengatakan sesuatu? Kau tidak terluka, kan?" katanya terburu-buru. Jimin lalu meneliti bekas kuku Jiyeon di pergelangan Hanna. "Sial."

Namun bukan itu yang Hanna permasalahkan sekarang. Dia bahkan tidak merasa sakit sama sekali, tidak lagi. Dengan sigap Hanna melepas pergelangan dari tangan Jimin, berbalik menggenggam tangan pria itu. "Jimin, dia berbahaya. Perasaanku tidak enak."

Lantas Jimin melingkarkan lengan di tubuh Hanna, mendekapnya erat lalu mengelus punggung perlahan. "Tidak apa. Kita akan pikirkan sesuatu."

Tapi Hanna tidak tenang. Dia tahu pikirannya ini buruk sekali dan sejujurnya Hanna benar-benar tidak memiliki hak apapun atas apa yang akan dia katakan, tapi Hanna tak bisa menepis kecemasan begitu saja. Yoongi benar. Hanna tidak tahu—belum tahu—sedang berhadapan dengan siapa. "Kau sudah yakin akan biarkan Jiyeon bertemu Abel?"

"Aku tidak punya pilihan."

Sial. Hanna meremas kemeja Jimin dalam diam, kesal atas pemikirannya sendiri namun dia tak bisa bohong. Cara Jiyeon menatapnya seolah dia partikel paling mematikan di bumi yang harus dimusnahkan, pernyataannya tentang Hansol dan Jimin seolah mereka bukanlah apa-apa. Sekarang Hanna seratus persen yakin, dia tidak benar-benar menginginkan Abel. Lantas apa?

Jimin menarik diri, menangkup tangan di wajah Hanna hingga mata mereka bertemu. "Tidak perlu khawatirkan apapun sekarang. Kita ke atas mengambil barang lalu pulang. Oke?"

"Tapi, Jim—"

"Ssh. Dia sudah tidak di sini. Aku yakin Jiyeon sudah pergi."

Hanna tidak berkata apapun dalam perjalanan pulang. Matanya menatap cemas ke sisi jalan dan sesekali mengintip lewat spion jika ada mobil yang mengikuti. Dia tahu ketakutannya ini tidak memiliki alasan kuat, Hanna bahkan tidak mengerti apa yang membuatnya begitu waspada. Hanna menoleh pada Jimin. Meski air mukanya begitu tenang, Hanna mendapati laki-laki itu sesekali melakukan hal yang sama; mengecek spion. Hanna baru menyadari mereka mengambil jalan memutar jauh ketika melewati kafe Yoongi tapi tak berpikir ingin mengatakan apapun.

Abel sedang menonton tayangan anak di televisi, duduk di antara ayah dan ibu sambil menyantap potongan stroberi, anggur hijau, dan kiwi ketika Hanna dan Jimin masuk. Dengan sopan Jimin menolak tawaran makan malam sementara Hanna mengemasi tas sekolah dan seragam Abel, lalu mendapati pria itu menunggu di ambang pintu dengan tatapan penuh harap dengan Abel sudah tenang di gendongan.

"Kau mau ... em, ikut?" Jimin bertanya dengan suara pelan saat Hanna menyodorkan tas merah muda bercorak stroberi.

Wajah Jimin mengingatkan Hanna pada Jungkook kecil yang waktu itu takut-takut menagih janji Hanna dan Yoongi untuk menemaninya main ke play station. Persis seperti itu, mata berkilat cemas dan bulat seperti kucing. "Kau mau aku ikut?"

"Kalau tak keberatan."

"Tunggu sebentar."

Hanna tak perlu jelaskan panjang lebar pada ibu dan ayah. Begitu dia berbalik hendak buka mulut, mereka langsung tersenyum bersamaan dan melambaikan tangan seperti mengusir anak kucing. Ayah bilang jangan pulang kemalaman, tapi Hanna tidak berpikir dia akan pulang. Mungkin. Syukurlah Yoongi tidak di rumah atau dia akan dicereweti lagi.

Sejujurnya, Hanna punya banyak sekali pertanyaan bercokol di kepala. Bukannya Hanna tidak dengar, dia mendengar dengan sangat jelas ; "Kau ingat sudah berapa tahun berlalu?" Itu terdengar seperti ancaman, sebuah peringatan. Tapi atas apa? Kang Kyungjoon? Memangnya dia di mana sekarang? Bukankah Taehyung bilang....

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now