Betul dugaanku kalau pria itu suaminya. Segampang itu dia mau membayarku seratus juta? Dasar "sultan"! Uang segitu banyaknya kayak mainan.

"Udah terima aja," bujuk Lincess. "Seratus juta zaman now, mau cari ke mana? Cewek lain jual keperawanan juga nggak bakal dapet segitu. Kamu cuma jual status aja pake mikir lama. Lumayan lho, buat biaya tambahan atau modal usaha. Kamu nggak mau selamanya jadi driver ojol, 'kan?"

Seratus juta memang menggoda, tapi akhirnya statusku bakal jadi janda. Huft! Memang bukan pilihan yang mudah.

Di tengah rasa panik dan bingungku, pria tampan yang sedari tadi duduk bersedih di sudut ruang tiba-tiba menghampiri. "Ma, Pa. Sudahlah. Batalkan saja acara ini. Aric akan segera mengundang wartawan untuk konferensi pers. Aric nggak mau melanjutkan sandiwara pernikahan ini."

Eits, tunggu dulu sodara-sodara! Jadi, pria ganteng maksimal ini yang bakal jadi pengantin prianya? Yeaaay, menang banyak dong aku! Suami tampan plus rekening mengembang. Ya, meskipun hanya sehari, tapi duitnya lumayan juga.

"Bu—"

"Diam dulu kamu." Bu Wiratama mencegahku berbicara. Dia kemudian menatap pria tampan yang mungkin saja anaknya. "Enak aja mau dibatalkan. Kamu yang minta pernikahan kamu dan Willow disegerakan, tapi akhirnya jadi begini. Kamu mau bikin malu Mama dan Papa? Apa yang harus Mama dan Papa katakan kepada kolega-kolega kita nanti? Dari awal juga Mama nggak suka kamu pacaran sama si Willow. Begini nih. Seenak jidatnya aja dia membatalkan pernikahan. Dia dan orang tuanya memang nggak punya etika. Membatalkan pernikahan pas di hari H. Lewat telepon lagi. Dasar nggak punya sopan santun!"

"Sabar, Ma." Pak Surya memegang pundak istrinya berusaha menenangkan. Dia lalu menatapku. "Mana KTP kamu?"

"K-KTP? Buat apa, Pak?"

"Kamu kan mau menikah dengan anak kami. Kami butuh identitas kamu untuk proses pernikahan ini."

"Yang benar saja sih, Pa? Masa Aric mau dinikahkan dengan tukang ojol. Nggak ada cewek lain lagi apa? Duit seratus juta bisa bayar model cakep buat jadi pengantin pengganti. Cewek beginian nggak ada kelas."

Kata-kata cowok yang menyebut dirinya sendiri Aric itu sungguh menggemaskan. Menggemaskan tinjuku. Muka sih oke di atas rata-rata, tapi cara bicara dan caranya menilai orang berada di level minus. Ah, kepengen ditampol juga nih cowok.

"Heh, lo pikir gue mau nikah sama elo. Sori, mori, dori, stoberi, ya! Biar kata gue cuma tukang ojol, gue nggak tertarik sama duit yang elo semua tawarkan. Duit yang didapetnya cepet, habisnya juga cepet. Gue lebih menikmati duit dari hasil kerja keras gue sebagai tukang ojek. Dan pemahaman lo tentang cewek berkelas, kayaknya perlu direvisi. Jaga mulut lo!" Bodo amat mau disebut tidak sopan, barbar, atau apa pun. Berani menyinggung harga diriku, ya harus siap berhadapan denganku. Aku segera berbalik dan melangkah ke tempat sampah. Kuambil lagi buket mawar biru yang sudah berantakan. "Permisi!"

"Hei, mau ke mana kamu?" Bu Wiratama menahan tanganku.

"Saya mau balikin bunga ini ke toko bunga."

"Bunganya sudah rusak. Buang aja."

"Nggak bisa. Saya harus bertanggung jawab kepada toko karena pemesan tidak jadi membayar. Jadi, saya harus mengembalikan bunga ini meskipun sudah rusak."

"Kalau bunganya rusak, berarti kamu harus ganti dong. Penjualnya tidak mungkin menerima barangnya kembali yang telah rusak."

"Itu risiko saya, Bu. Karena ulah customer yang tidak bertanggung jawab, tidak hanya sekali saya mengalami hal kayak gini. Customer kayak gitu bisanya nyusahin orang susah doang." Aku tidak peduli si Ibu "sultan" ini bakalan tersinggung oleh kata-kataku. Toh, dia yang mulai duluan dengan membuang bunga ini tanpa mau membayar. Sekalinya ditawari bayaran besar, aku harus mengerjakan pekerjaan tambahan sebagai pengantin. Gila!

Terpaksa Menikahi Driver Ojol (Cinta di Ujung Rindu)Where stories live. Discover now