Mata sabit Jimin langsung membola seperti akan melompat keluar. Dia turun dari kursinya dan berjongkok mengamati tiga lingkaran di tanah. "Woah. Sebesar itu? Lebih besar daripada matahari si bohlam lampu raksasa?"

"Yap. Memang tidak semua bintang melebihi ukuran matahari, tapi beberapa bintang amat sangat besar. Sirius, Antares. Hyung bahkan tidak bisa membayangkan seberapa besar."

"Tapi, Hyungie. Kalau mereka sebesar itu, kenapa dari sini kelihatan sangat kecil?"

"Karena letak mereka sangat jauh di ruang angkasa sana, Jim."

"Lebih jauh daripada rumah kakek di Selandia Baru?"

"Lebih jauh lagi."

"Lebih jauh daripada rumah pinguin di kutub utara?"

"Leebih jauh lagi."

"Lebih jauh daripada planet pluto?"

"Lebih jauuuuh daripada pluto."

Membayangkan tangannya saja tidak bisa menjangkau rak ketiga lemari buku Namjoon, bibir Jimin ditekuk murung. "Yah, Hyungie. Bagaimana cara mengambilnya, dong, kalau begitu?"

Lantas Namjoon meloloskan tawa ringan. Dia mengajak adiknya berdiri dan menyesakkan pantat mereka berdua di satu kursi. "Ya, tidak bisa. Bintang-bintang yang cantik itu tempatnya di langit. Kita tidak bisa menurunkan mereka dari sana."

"Bahkan walau aku manusia terkuat di dunia sekali pun juga tidak bisa?"

Namjoon menggelengkan kepala sekali. "Tetap tidak bisa."

"Terus aku harus koleksi apa, dong?" Jimin bertanya dengan bibir bawah dimajukan, alis menekuk bingung.

Namjoon sudah tidak ingat jawaban apa saja yang dia berikan pada Jimin waktu itu. Yang jelas mereka mengakhiri malam dengan senyum puas terkembang di wajah adik bungsunya dan kesimpulan sudah diambil bahwa Park Jimin tidak bisa menyimpan koleksi bintang di kolong tempat tidur.

Terdengar seperti pencapaian sepele, tapi saat kau bisa menjawab pertanyaan adik kecilmu serealistis mungkin tanpa embel-embel kepalsuan berlebihan serta tanpa merusak imajinasi dan harapannya yang seluas samudera, Namjoon sudah merasa jadi orang cerdas paling beruntung di dunia.

Tapi sekarang, bahkan meski otaknya jungkir balik ribuan kali, isi kepala diacak-acak sampai berhamburan, Namjoon tidak bisa menemukan jawaban. Pertanyaannya bukan lagi kenapa bintang yang cantik dan kemerlapan ditempatkan sangat jauh. Lebih baik kalau pertanyaan itu saja yang diulang lagi.

"Hyung, apa tempatku memang bukan bersama mereka yang kucintai?"

"Itu tidak benar."

"Apa sebaiknya aku hidup sendirian saja, ya, Hyung? Supaya tidak ada yang terluka lagi."

"Itu pemikiran tidak tepat, Jim."

"Kalau operasinya tidak berjalan lancar ... kalau Hanna-"

"Berhenti."

"Dan kalau Abel tidak ditemukan, lalu aku harus apa?"

"Jimin." Namjoon menyentak kepala agak kasar. Sungguh, kalau keadaannya berbeda, Namjoon bisa menceramahi adiknya panjang lebar tentang pentingnya berpikir optimis. Atau, kalau dirinya sudah kelewat kesal, mungkin pilihan akhir cukup menggebuk kepala Jimin dengan tapak sepatu. Suatu perbuatan tidak terpuji, tapi melihat Hoseok pernah melakukan itu padanya dulu sekali, mungkin Namjoon boleh mencoba juga.

Tapi dalam keadaan begini, who am I kidding?

Seorang petugas polisi bahkan harus membantu melerai Yoongi dan Jimin di depan rumah tadi. Jimin tidak melawan. Tidak sama sekali.

Edenic {✓} SUDAH TERBITWhere stories live. Discover now